……..
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai suatu bangsa dengan kepemilikan wilayah dari Sabang Sampai Merauke, 230 juta rakyat dan pemerintah yang berdaulat, memiliki beban besar sebagai warga dunia. Indonesia merupakan negara dengan potensi kekayaan alam yang luar biasa besar. Indonesia juga merupakan satu negara yang menjadi pasar produksi barang dan jasa dari seluruh dunia. Indonesia adalah negara yang menjadi ajang kepentingan dunia. Keadaan ini membuat bangsa kita sebenarnya memiliki lebih banyak pilihan dibandingkan dengan bangsa lain. Bangsa ini bisa menjadi mesin penggerak yang membuat perekeonomian di bumi ini berjalan. Pemerintah yang berdaulat dapat membuat keadaan ini menjadi motor untuk membawa kemakmuran bagi seluruh rakyat dan kemajuan di segenap wilayah Indonesia. Kepentingan-kepentingan asing di negeri ini seharusnya dapat “dipaksa” untuk memberikan kontribusi lebih banyak untuk kemakmuran bangsa ini. Indonesia seharusnya bisa mendikte, bukan didikte, oleh negara-negara maju. Pemerintah Indonesia dengan kedaulatan yang dimilikinya, memiliki tanggung jawab untuk melindungi kepentingan nasional dan rakyat Indonesia dari isu-isu dunia yang merugikan negara ini.
Indonesia dengan segenap kekayaannya telah terus dan tetap terus menjadi negara berkembang selama bertahun-tahun. Pertumbuhan ekonomi 6% yang selama bertahun-tahun dibanggakan sepertinya belum secara faktual dapat dilihat secara kasat mata. Sebenarnya harus dicari dibagian mana di Indonesia ini yang pertumbuhan ekonominya 6% dan dimana yang –20%. Aliran uang, barang dan jasa karena pembangunan negeri ini bertumpuk di sebagian kecil wilayah di negeri ini; sementara di wilayah lain menjadi obyek penderita baik karena kepentingan dunia maupun karena kepentingan domestik yang menguntungkan segelintir orang. Kita pernah dipuji-puji sebagai macan asia. Semua media di dunia ikut melambungkan Indonesia sebagai negara dengan kemajuan ekonomi yang luar biasa. Namun semua itu tidak membuat Indonesia menjadi negara maju.
Kesuburan tanah, kekayaan alam, 230 juta penduduk dan pemerintah yang berdaulat yang dimiliki negara ini ternyata belum bisa membuat negeri ini menjadi subyek yang bisa menentukan nasibnya sendiri. Negara ini, dengan segala berkah dan anugerah yang diberikan Allah SWT kepadanya, tetap dan terus menjadi obyek penderita dari percaturan dunia. Mayoritas rakyat Indonesia yang sebenarnya paling berhak atas kekayaan alam dan kemakmuran dari pengelolaan kekayaan negeri ini justru harus menanggung beban dari isu-isu dunia yang dihembuskan negara barat. Beban mayoritas rakyat kita semakin menjadi-jadi ketika orang-orang dan pihak-pihak yang seharusnya melindungi kepentingan negara dan masyarakat, justru berpihak pada isu-isu dunia dan ikut mengambil uang negara untuk kenikmatan hidup pribadinya. Akibatnya, potensi yang kita miliki justru membuat mayoritas rakyat di negara ini menjadi menderita.
PERUBAHAN IKLIM—SUSTAINABLE SUPLY GREEN ENERGY—BIODIESEL—KELAPA SAWIT—PANCASILA
Indonesia sebenarnya adalah gudang energi alternatif terbesar di dunia. Energi alternatif menjadi isu dunia dengan diawali isu pemanasan global, perubahan iklim, kemudian dunia berlomba untuk mencari bahan bakar non-fosil yang kemudian salah satunya berkembang menjadi biofuel. Biofuel ini di negara-negara maju di barat telah menjadi cita-cita dan harapan akan energi masa depan yang bersih, ramah lingkungan dan dengan ketersediaan yang berkesinambungan. Biofuel dipercaya sebagai jawaban atas kebutuhan energi terutama untuk transportasi, yang ramah lingkungan. Transportasi merupakan sektor yang paling banyak membutuhkan energi dan salah satu sektor penyumbang gas rumah kaca paling besar selain industri. Tapi transportasi memutar ber bilyun-bilyun dolar uang di seluruh dunia. Industri otomotif merupakan industri andalan dari berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia. Dengan hanya menjadi tukang rakit dan tukang jahit, industri otomotif Indonesia bisa menjadi industri strategis yang menyumbang devisa dan pajak yang cukup besar. Apalagi bagi negara-negara produsen mobil, keuntungannya tentu lebih besar. Apalagi untuk negara yang mobilnya dirakit dan di jahit di Indonesia. Keuntungan yang didapat sulit di bayangkan Transportasi merupakan faktor penting perdagangan dan keluar masuk barang dan jasa di muka bumi. Industri otomotif kemudian mengembangkan moda transportasi ramah lingkungan, hemat energi dan menginvestasikan jutaan dolar untuk riset bahan bakar ramah lingkungan. Bioethanol dan biodiesel kemudian menjadi pilihan yang paling dapat segera diterapkan dalam industri mereka. Peneletian dan produksi biofuel kemudian melibatkan berbagai perusahaan besar dan
Alasan ini menjadikan biofuel sebagai suatu produk yang sangat penting dan dalam waktu singkat menjadi salah satu produk dengan permintaan terbanyak di dunia. Negara-negara industri maju di Eropa menetapkan target untuk penggunaan biofuel sebesar 5,75% di tahun 2010 dan meningkat menjadi 10% di tahun 2020. Pada tahun 2030, Uni Eropa mentargetkan penggunaan biofuel sebesar 20% pada bahan bakar transportasi. Amerika Serikat membutuhkan 35 milyar galon setahun biofuel. Indonesia juga menargetkan 1,3 juta kilo liter pemakaian biodiesel berdasarkan APBN 2011. Negara-negara maju mengagendakan pemanfaatan biofuel di negaranya. Gerakan pemanfaatan biofuel kemudian menjadi isu dunia yang membuat industri, politisi, Bank Dunia, Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan organisasi-organisasi regional dan internasional turut serta berkampanye dalam proyek raksasa “penyelamatan” masa depan dunia dengan mengembangkan biofuel. Biofuel menjadi agenda dunia yang menyertai usaha untuk menyelamatkan dunia. Usaha menyelamatkan dunia yang kemudian berkembang menjadi proyek raksasa yang ditangani oleh perusahaan raksasa dunia yang berkembang menjadi pundi-pundi uang yang sarat dengan kepentingan, pelanggaran HAM, eksploitasi lahan, pemusnahan hutan tropis, pengusiran, pembunuhan, dan penganiayaan penduduk asli.
Salah satu jenis biofuel selain bioethanol adalah biodiesel. Biodiesel dibuat dari campuran methanol dan minyak nabati. Minyak nabati yang telah memiliki teknik industri yang sudah mapan dan memiliki skala ekonomi yang paling besar dan menguntungkan adalah minyak dari kelapa sawit. Minyak sawit selain dapat dipakai untuk membuat biodiesel, merupakan bahan baku dan bahan pembantu pembuatan bahan pembersih, detergent, sabun, margarin, minyak goreng dan lain sebagainya. Minyak kelapa sawit juga dapat diolah menjadi berbagai produk hilir seperti oleokimia, yang mempunyai nilai jual tinggi. Tetapi, industri oleokimia Indonesia ternyata kurang berkembang, terutama bila dibandingkan dengan Malaysia. Hal ini disebabkan karena mahalnya biaya investasi dan terbatasnya pasar dunia untuk produksi oleokimia. Minyak sawit memang memiliki nilai ekonomi tinggi. Ditambah dengan isu green energy dan menjadi bahan baku biodiesel, permintaan minyak sawit membengkak dan harganya melambung tinggi. Hal ini menarik perusahaan dan investor besar untuk masuk ke industri ini. TANAMAN kelapa sawit berbeda dengan tanaman semusim, seperti kedele atau rapeseed, yang dapat diatur produksinya. Hal ini memungkinkan minyak kelapa sawit mengalami surplus produksi sehingga perlu dicari cara pemanfaatannya. Salah satu alternatif yang terbentang di depan mata adalah mengolah minyak kelapa sawit menjadi biodiesel. Untuk mencukupi kebutuhan akan biofuel di Eropa, 70% ladang pertanian di Eropa harus ditanami kelapa sawit atau tebu. Untuk menghasilkan 35 milyar galon biofuel pertahun, Amerika Serikat harus mengganti seluruh tanaman jagung, kedelai dan gandum di tanah mereka menjadi tanaman yang dapat diolah menjadi biofuel. Tentu saja mereka tidak akan mau, karena hal itu akan sangat merugikan dan memukul stabilitas mereka. Kemudian mereka mencari pemerintah bodoh dari negara mana yang tanahnya luas dan subur, hutannya banyak, pemerintahnya korup, rakyatnya sabar dan tahan dianiaya, dan aparatnya bisa dijadikan tentara bayaran……. Indonesia!!!
Indonesia yang dinilai memiliki lahan tidur dan gambut terluas di dunia, menjadi sasaran investor internasional dan perusahaan-perusahaan besar antek negara barat, untuk membuat lahan tidur di Indonesia bisa ditanami tanaman bahan baku biofuel. Sayangnya, yang mereka sebut lahan tidur itu adalah termasuk hutan tropis. Dan pemerintah Indonesia yang berdaulat, yang dalam hal ini bertindak sebagai perusahaan pedagang perantara terbesar di dunia, dengan sigap dan cepat langsung menjembatani eksploitasi dan pemusnahan hutan tropis melalui penandatanganan perjanjian dan keluarnya ijin yang memberikan hak kepada suatu perusahaan untuk menghancurkan hutan tropis, kampung, desa, orang, dan segala yang ada didalamnya. Ijin ini dikeluarkan tanpa ada pengawasan yang memadai. Ijin ini juga dikeluarkan tanpa melihat kondisi geografis, sosiologis dan psikologis dari masyarakat yang mendiami wilayah terdampak ijin sejak jaman Kerajaan Sriwijaya. Yang saya sebut “Pemerintah Indonesia” bukan hanya, dan terbatas pada pemerintah yang berkuasa sekarang. Masalah ini sebenarnya sudah ada sejak jaman dahulu kala; kemudian diteruskan dan dikembangkan sampai pada pemerintah yang sekarang. Eksploitasi habis-habisan dan pengelolaan hutan yang buruk sudah terjadi sejak kekuasaan Orde baru. Konsesi Hak Pengusahaan Hutan yang mencakup lebih dari setengah luas total hutan Indonesia oleh presiden Suharto sebagian besar di antaranya diberikan kepada sanak saudara dan para pendukung politiknya. Kroniisme di sektor kehutanan membuat para pengusaha kehutanan bebas beroperasi tanpa memperhatikan kelestarian produksi jangka panjang. Sangat sulit merubah hal yang sudah terjadi sejak dulu dan terjadi merata di seluruh Indonesia. Kenapa hal ini baru ramai dibicarakan sekarang, mungkin menjadi tugas pemerintahan sekarang untuk menanganinya secara tuntas. Sesuai dengan semboyannya, INDONESIA BISA!!!
Australia Network menayangkan film dokumenter berjudul Biofuel Myths. Acara ini menarik karena mengulas tentang transformasi hutan tropis menjadi kebun sawit di Indonesia secara obyektif, proporsional dan profesional. Dalam film dokumenter ini, perluasan kebun yang dilakukan perusahaan besar kelapa sawit Grup Sinar Mas menjadi topik utama. Tetapi sebenarnya frasa "Biofuel Myths & Facts" sendiri merupakan perdebatan internasional tentang untung-rugi pemanfaatan biofuel. Biofuel Myths diulas baik oleh mereka yang setuju dengan Biofuel dan mereka yang tidak setuju, dengan teori masing-masing. Namun demikian, mereka yang cenderung setuju mendasarkan alasan pada hal-hal yang bersifat sangat teknis; dalam arti perdebatan mereka berkutat seputar mesin mobil. Untuk keadaan di Indonesia, lebih sesuai dikembangkan teori yang tidak setuju biofuel karena lebih mendekati kenyataan yang ada sekarang, terutama kasus pembantaian rakyat di Sumatra Selatan.
- Mitos bahwa biofuel bersih dan ramah lingkungan
Biofuel dikatakan ramah lingkungan karena biofuel dihasilkan dari tanaman yang berfotosintesis dan juga menghasilkan oksigen. Namun apabila kita melihat secara lebih detil siklus pembuatan biofuel, dari mulai pembersihan lahan, penebangan hutan, bahkan ada hutan yang dibersihkan dengan cara dibakar, maka emisi gas rumah kaca yang dihasilkan jauh lebih besar daripada manfaat tanaman biofuel dalam pengurangan emisi. Setiap 1 ton minyak kelapa sawit menghasilkan 33 ton emisi karbondioksida—10 kali lebih banyak daripada bensin. Begitu tanah di hutan tropis terpapar sinar matahari karena penebangan pohon untuk ladang tanaman biofuel, materi kelembapan dalam tanah subur hutan tropis menguap dan bereaksi akibat sinar matahari. Reaksi dari penguapan zat-zat yang tadinya tersimpan dalam tanah hutan tropis yang terlindung dari sinar matahari melepaskan gas rumah kaca dalam jumlah yang sangat besar. Belum lagi apabila dilakukan pembakaran hutan untuk membersihkan lahan. Hal ini menimbulkan kerugian yang tidak bisa dihitung dengan angka rupiah Indonesia. Kerugian bangsa ini dan dunia karena kehilangan hutan tropis yang sudah ribuan tahun menjadi paru-paru dunia merupakan suatu yang tidak bisa dibayar dengan perolehan devisa dan pajak dari produk sawit. Apalagi yang mengelola bukan perusahaan pemerintah dan tidak dikelola bersama dengan rakyat kita. Seperlima dari emisi gas rumah kaca dunia disebabkan oleh penggundulan hutan. Konversi hutan menjadi perkebunan merupakan penyumbang gas rumah kaca terbesar di Indonesia yang menempatkan negara ini di peringkat ketiga pengemisi gas rumah kaca terbesar di dunia. Kenyataan ini sungguh ironis karena dengan menduduki peringkat ketiga peyumbang emisi gas rumah kaca, sepertinya industri bergerak dengan hebat, transportasi mengangkut jutaan ton produk ke seluruh pelosok negeri, pertambangan nasional bergerak mengambil kekayaan alam sehingga perekonomian berjalan dan rakyat Indonesia dalam waktu singkat menjadi rakyat sebuah negara makmur yang maju. Namun langit hitam Indonesia akibat industri, transportasi dan tambang belum membuat negara ini makmur.
Untuk dapat menjadi bahan bakar kendaraan bermotor yang efektif, biodiesel masih harus dicampur dengan solar. http://madja.wordpress.com/2007/12/20/minyak-sawit-dari-biodiesel-hingga-karoten/ Hasil penelitian Dr Evita Legowo, Direktur Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Kelistrikan dan Energi (Research and Development Center for Energy and Electricity Technology) menunjukkan, perbandingan terbaik untuk campuran solar dengan biodiesel adalah 70 berbanding 30 dalam satuan volume dengan memakai mesin diesel empat tak 2000 CC. Hasil uji yang diperoleh adalah torsi mesin pada putaran berbeda akan turun bila kandungan biodiesel lebih banyak dalam campurannya dengan solar. Konsumsi bahan bakar semakin meningkat dengan ditingkatkannya kadar biodiesel dalam bahan bakar solar. Pemakaian biodiesel murni menyebabkan konsumsi bahan bakar meningkat 24 persen, sedangkan campurannya dengan solar menyebabkan peningkatan konsumsi sebesar 11 persen. Campuran biodiesel dan solar tetap menghasilkan emisi gas buang rumah kaca seperti NOx dan CO2. Prosentase gas buang dari campuran solar-biodiesel 70:30 berbeda-beda tergantung pada putaran mesin. Meskipun tidak sebanyak solar murni, emisi gas buang biodiesel tetap ada dan pada putaran mesin tertentu jumlah emisi gas buang CO2 biodiesel hampir sama dengan emisi gas buang solar murni.
Perusahaan besar yang mengelola kebun kelapa sawit ribuan hektar tidak peduli dengan nasib penduduk asli di sekitar atau dalam wilayah perkebunan itu. Paling tidak ini yang bisa dilihat di media meski tidak semua perusahaan kelapa sawit seperti itu. Penduduk di Jambi yang disebut “Orang Rimba” atau Suku Anak Dalam merupakan penduduk Negara Indonesia yang masih hidup bergantung pada hutan tropis di Jambi. Mereka bukan tipe orang yang bisa bekerja di perusahaan yang menghancurkan hutan tempat mereka tinggal. Setelah hutan dihancurkan, perusahaan menggunakan herbisida “Paraquat” yang sangat merusak dan berbahaya. Dosis kecilnya dapat membuat luka terbakar jika terpapar kulit. Bila terhirup dapat menyebabkan kanker paru-paru dan bila tertelan bisa berakibat fatal. Amerika Serikat dan Eropa telah melarang penggunaan herbisida ini. Namun di Indonesia perusahaan raksasa Swiss “Syngenta” masih bisa menjual herbisida tersebut. Paraquat tidak hanya membunuh rumput liar tapi juga bertahan di dalam tanah dan meracuni air tanah. Perusahaan sawit juga menggunakan pupuk yang berlebihan untuk menjaga kesuburan tanah sehingga pohon sawit dapat berbuah maksimal. Phospat dan nitrat yang terkandung dalam pupuk meracuni sungai dan danau. Air tanah menjadi sangat asin sehingga tidak ada tanaman buah yang dapat tumbuh; dan hal ini diketahui dengan baik oleh perusahaan. Yang disebut ramah lingkungan oleh pendukung biofuel adalah bahwa pohon sawit, seperti halnya tumbuhan lain berfotosintesis dan menghasilkan Oksigen di siang hari. Namun akibat buruk kepada lingkungan akibat emisi gas rumah kaca yang dihasilkan pada waktu land clearing dan pencemaran lingkungan selama 20 tahun pemelirahaan jauh lebih besar daripada efek positif yang bisa diberikan.
- Mitos bahwa biofuel tidak menyebabkan deforestrasi
Pemerintah Indonesia yang sedang hebat-hebatnya kampanye menanam pohon di kebun kita, melalui Kementerian Kehutanan justru merencanakan untuk menjadikan 26 juta hektar hutan sebagai perkebunan kelapa sawit. Sementara pemerintah seluruh dunia, organisasi regional, PBB dan lain sebagainya berdiskusi untuk mencegah perubahan iklim, pemerintah kita yang juga sedang mendiskusikan perubahan iklim dan mendorong rakyatnya untuk menanam pohon, justru memberikan ijin ribuan hektar kebun kelapa sawit dengan menebang pohon ratusan pohon setiap hari. Sampai dengan 2006, duapuluh koma dua puluh sembilan juta hektar hutan telah dilepaskan untuk pekebunan kelapa sawit. Dari 20,29 juta ha, hanya 6,7 juta hektar yang ditanami kelapa sawit. Sisanya ditinggalkan setelah diambil kayunya. Sampai dengan 2006, lebih dari 11,23 juta hektar hutan telah dilepaskan untuk Hutan Tanaman Industri dan hanya 20 persen diantaranya yang telah ditanami. Meskipun peraturan pemerintah mensyaratkan bahwa pembangunan perkebunan kelapa sawit dan Hutan Tanaman Industri hanya bisa dibangun pada kawasan hutan kritis atau hutan dengan kerapatan vegetasi kurang dari 5 m3/ha, namun pemerintah pusat dan pemerintah lokal justru mengeluarkan perizinan diatas hutan-hutan alam dengan kerapatan diatas 20 – 40 m3/ha.
Penelitian dari kelompok pencinta lingkungan hidup internasional mengungkapkan bukti terus berlangsungnya pengerusakan hutan Indonesia di Papua, Kalimantan dan Riau dan Jambi. Hutan tropis dan jenis hutan lain di tempat ini dirusak bersama dengan seluruh ekosistem yang menyusun habitat di hutan tersebut. Pengrusakan dilanjutkan dengan langkah-langkah penyuburan (cultivication) dengan menggunakan, herbisida, pestisida, dan pupuk berbasis petroleum secara bebas, pada hampir semua kebun dan pengolahan minyak, mengakibatkan hancurnya ekosistem akuatik di daerah perkebunan dan pabrik pengolahannya. Selain itu, perkebunan sawit di Indonesia sangat merusak karena setelah 25 tahun masa panen, lahan kelapa sawit kebanyakan ditinggalkan dan menjadi semak belukar. Tanah mungkin akan kehabisan nutrisi, terutama pada lingkungan yang mengandung asam, sehingga beberapa tanaman mungkin tumbuh, menjadikan wilayah tersebut tanpa vegetasi selain rumput-rumput liar yang akan mudah sekali terbakar.Papua yang memiliki hutan tropis dan vegetasi alam terkaya di dunia juga tidak luput dari eforia perkebunan kelapa sawit. Daerah Lereh dekat Jayapura ditemukan bukti pembukaan hutan dengan cara dibakar untuk perkebunan sawit. Di hutan daerah Lereh ini tumbuh tanaman sagu dan nipah, yang merupakan kebutuhan utama masyarakat Papua. Sagu adalah makanan ipokok masyarakat Papua dan nipah digunakan untuk bahan pembuat rumah. Pengrusakan hutan akan berdampak buruk bagi masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada hutan ini. Sebuah laporan baru yang dirilis oleh Telapak dan Environmental Investigation Agency (EIA) - berjudul "Up for Grabs" - memperlihatkan bagaimana lima juta hektar lahan, sebagian besar hutan, sedang menjadi sasaran banyak perusahaan yang mengejar keuntungan dari tingginya permintaan akan biofuel yang berasal dari tanaman seperti kelapa sawit dan komoditas lainnya. Perampasan tanah ini memprovokasi terjadinya konflik dengan masyarakat lokal dan mengancam wilayah hutan tropis terbesar ketiga yang tersisa di Bumi. Dalam satu kasus, Telapak/EIA mendapati seorang anak laki-laki berumur empat tahun, putra seorang pemilik hak ulayat, yang harus menandatangani kontrak sehingga perusahaan perkebunan bisa menjamin kontrol terhadap tanah tersebut selama puluhan tahun. Juru bicara Telapak, Hapsoro mengatakan perusahaan menipu orang Papua agar menyerahkan lahan untuk perkebunan kelapa sawit dengan janji-janji kosong tentang kesejahteraan masa depan mereka. "Ini semua terjadi dengan restu pemerintah atas nama pembangunan" katanya. Papua yang sudah dibebani masalah Freeport dan makar, akan menjadi semakin panas jika masalah kebun sawit ini dibawa ke sana. http://bapesdalh.papua.go.id/berita_det.php?id=7
Kalimantan yang memiliki kekayaan alam yang luar biasa juga sudah dirusak oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit, selain juga oleh perusahaan pertambangan batu bara, dan pertambangan lain. Kalimantan Tengah merupakan provinsi dengan perluasan areal perkebunan kelapa sawit paling pesat di Indonesia. Sinar Mas melakukan penggundulan hutan di sekitar Taman Nasional Danau Sentarum, di lahan basah diarea yang dilindungi International Ramsar Convention, sebagai bagian dari kegiatan perluasan perkebunan kelapa sawit mereka. Daerah penyangga yang telah mengalami pembalakan itu sangat penting bagi integritas dan keanekaragaman hayati taman nasional, salah satu lahan basah terluas di Asia Tenggara dan rumah bagi ribuan jenis spesies satwa langka, termasuk macan tutul, orang utan dan sebagian besar populasi kera belanda (proboscis monkey). Dalam kurun waktu tujuh belas tahun luas areal tanaman perkebunan kelapa sawit meningkat hampir 400 kali lipat. Hingga akhir tahun 2006, sekitar 816 ribu hektare kawasan hutan di Kalimantan Tengah telah dilepaskan untuk perkebunan kelapa sawit. Tujuh perkebunan kelapa sawit milik Grup Sinar Mas, terletak berbatasan dengan Taman Nasional Danau Sentarum di Kalimantan Barat. Kawasan taman nasional seluas 132.000 hektar ini merupakan situs lahan basah internasional dibawah konvensi Ramsar. Pembukaan, penanaman, langkah penyuburan (cultivication) akan merusak flora, fauna, dan habitat di wilayah danau dan akan berdampak buruk pada penghidupan nelayan di sekitarnya. Perikanan adalah industri kunci di Danau Sentarum, yang memasok kebutuhan protein ke sebagian besar propinsi di Kalimantan Barat dan menghidupi masyarakat di sekitar Taman Nasional. Cara-cara yang ramai dibicarakan di Mesuji mungkin sudah dilakukan juga dimana-mana. Khusus di Kalimantan yang merupakan habitat hidup orang utan, hewan langka yang dilindungi ini dianggap hama dan seperti yang diberitakan banyak yang dibunuh. Bukti yang dihimpun COP (Center for Orangutan Protection) menunjukkan bahwa perusahaan kelapa sawit memberikan bayaran senilai 200 ribu hingga 1 juta bagi oknum yang berhasil membunuh orangutan yang ada di wilayah Indonesia. Praktek pembantaian ini menjadi ancaman serius untuk orang utan dan hutan Indonesia. Lahan hutan semakin berkurang setiap tahunnya. Penambangan kayu dan perkebunan kelapa sawit menjadikan hewan primata ini terancam habitatnya, dan memaksa mereka, orang utan dan hewan buas lainnya yang bergantung pada hutan, terpaksa keluar. Tak jarang mereka pun berhadapan dengan manusia yang memburu mereka karena mereka kerap dianggap sebagai hama tanaman sawit. http://forestforclimate.wordpress.com/tag/deforestasi/
Penduduk Dayak yang merupakan penghuni asli wilayah tersebut mengalami penderitaan yang berkepanjangan karena pembukaan hutan untuk kebun sawit. Situs kebudayaan Dayak yang berusia ratusan tahun terancam puna oleh perluasan kebun kelapa sawit di Kalimantan. Kelestarian situs budaya berupa rumah Ot, yakni jembatan batu dengan panjang sekitar 500 meter, air terjun dan benda peninggalan sejarah lainya di Desa Datah Girih, Kecamatan Kapuas Tengah, Kabupaten Kapuas terancam punah. Ini lantaran perkebunan kelapa sawit merambah kawasan itu, menyusul adanya sengketa lahan. Padahal rumah terbuat dari batu berlobang tersebut merupakan peninggalan suku Dayak Ot yang tinggal di hutan pada waktu itu. Mereka diketahui belum terjamah kemajuan zaman dan selalu berpindah. Padahal kebudayaan Dayak ini merupakan kekayaan budaya bangsa yang bila dibina bukan tidak mungkin akan menambah pendapatan asli daerah. Perluasan perkebunan kelapa sawit merupakan ancaman yang paling dekat dan nyata. Ancaman tersebut berupa terampasnya tanah dan kekayaan alam baik berupa lahan pertanian, kawasan hutan adat maupun kawasan pemukiman. Perlu diingat bahwa tanah dan kekayaan alam merupakan wujud dari eksistensi masyarakat adat artinya tidak ada lagi masyarakat adat jika tanah dan kekayaan alamnya sudah dirampas untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit.SEDIKITNYA sepuluh macam budaya masyarakat adat Dayak Meratus, khususnya di wilayah Balai Gadang dan Balai Limbur, Kecamatan Hampang, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan, terancam punah. Wakil Koordinator Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalsel, Juliade, saat ditemui di Paringin, Ibu Kota Balangan, kemarin, menyatakan ancaman itu diketahui berdasarkan hasil inventarisasi budaya yang telah mereka lakukan. “Sejak 15 Mei-30 Mei lalu kami menginventariasasi keanekaragaman hayati dan kaitannya dengan kehidupan masyarakat adat Dayak Meratus di kedua balai tersebut. Diketahui sedikitnya sepuluh macam kebudayaan mereka terancam punah,” tegasnya. Inventarisasi dilakukan AMAN Kalsel bekerja sama dengan Yayasan Kehati Jakarta guna mengetahui kehidupan masyarakat adat Dayak Meratus di kedua balai tersebut. Juliade menerangkan, hasil inventarisasi tersebut akan dituangkan dalam bentuk buku yang saat ini masih dalam proses pengerjaan. Buku itu disusun dengan memuat Tabel Biodiversity tentang berbagai aspek kehidupan masyarakat adat Dayak Meratus di Balai Gadang dan Balai Limbur. “Tabel Biodiversity memuat tentang makanan karbohidrat yang terdiri dari buah-buahan, sayuran dan hewan buruan sebagai bahan makanan. Kemudian budaya, pengembangan ekonomi, energi, tumbuhan obat, bahan rumah tangga, lingkungan, dan sandang atau pakaian,” urainya lagi. Semua aspek kehidupan yang termuat dalam Tabel Biodiversity itu disajikan dengan perbandingan antara sepuluh tahun lalu dengan keadaan saat ini. Berdasarkan hasil inventarisasi itulah, beberapa kebudayaan berupa permainan tradisional Dayak Meratus seperti balogo, babintih, dan gasing kini sudah tidak dimainkan lagi.
Selain itu, kesenian tradisional Dayak Meratus seperti tampihikan, kuriding, radab, gunggut, baandi-andi, batutur dan serunai juga tidak dimainkan lagi. “Minat generasi muda Dayak Meratus terhadap kebudayaan itu sudah sangat kurang. Permainan dan seni itu hanya diketahui oleh kaum tua saja sehingga keberadaannya kini terancam punah,” tambahnya.
Dayak longhouse in Borneo: millions of forest people in SE Asia living sustainable lives are under threat from palm oil plantations.
Riau dan Sumatera Selatan (http://green.kompasiana.com/penghijauan/2011/12/14/menyelamatkan-hutan-terakhir-di-riau/) juga merupakan ajang pembukaan hutan untuk perkebunan. Jutaan hektar hutan gambut telah dibuka atau diperuntukkan bagi perkebunan kelapa sawit atau hutan tanaman industri. Semenajung Kampar adalah salah satu dari 4 blok hutan rawa gambut yang ada di Riau yang masih tersisa. Luas kawasan gambut Semenanjung Kampar diperkirakan sekitar 700.000 hektar. Semenanjung Kampar merupakan hamparan hutan rawa gambut yang terluas di Sumatera yang memiliki kedalaman mencapai 15 meter. Di lahan gambut ini mengandung lebih dari 2 milyar ton karbon. Berbagai kekayaan flora dan fauna serta tipologi lahan yang unik menjadikan Semenanjung Kampar menjadi penting untuk iklim dunia. Namun saat ini, kawasan Semenanjung Kampar dalam kondisi kritis. Konversi besar-besaran dan alih fungsi lahan membuat kawasan gambut ini berubah wajah. Kering dan rentan kebakaran. Kanal-kanal raksasa merobek kawasan gambut yang selama ini indah membentang. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan, SK 327/Menhut-II/2009 tanggal 12 Juni 2009, Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) memperoleh hak konsesi HTI seluas 350.165 hektar di Kabupaten Siak, Pelalawan, Kampar, Kuantan Sengingi dan Bengkalis. Pada November 2009, akibat banyaknya aksi protes para pemerhati lingkungan mengenai pembukaan hutan di Semenanjung Kampar, Menteri Kehutanan sempat mencabut sementara izin pengelolaan hutan gambut RAPP di Semenanjung Kampar. Namun pada bulan April 2010 RAPP diizinkan beroperasi kembali di Semenanjung Kampar. Pada tahun 2006 tercatat bahwa APP dan APRIL beserta mitranya telah mengusai tanah di Riau seluas 1,8 juta hektar atau 21% dari total luas daratan Provinsi Riau (8,6 juta hektar). Kedua industri pulp and paper ini sampai dengan sekarang masih berlomba-lomba meningkatkan kapasitas industri mereka. Kapasitas Group Sinar Mas (PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk dan PT Lontar papyrus) berdasarkan data Kementerian Perindustrian adalah sebesar 2,68 juta ton per tahun atau 42% dari total kapasitas nasional. PT RAPP memiliki kapasitas produksi 2,21 juta ton per tahun atau 35% dari total kapasitas nasional. Terdapat 80 produsen pulp dan kertas di Indonesia dengan kapasitas produksi 6,29 juta ton per tahun. Kebutuhan kertas dunia pada tahun 2011 ditaksir mencapai 350 juta ton dan pulp 200 juta ton.Selain keberadaan 2 Perusahaan Pulp terbesar di asia, menjamurnya Perkebunan sawit skala besar merupakan faktor utama penyebab kehancuran hutan lahan gambut/ rawa gambut di Propinsi Riau. Kenyataan ini tidak dapat dipungkiri, hal ini juga di sampaikan oleh laporan UNEP 2007, yang menyatakan bahwa perkebunan sawit saat ini mengarah pada perusakan hutan tropis di indonesia. Kebijakan pemerintah yang mendukung, minat investor dan animo masyarakat yang semakin tinggi pada sektor kebun kelapa sawit merupakan salah satu faktor yang mendukung percepatan pertumbuhan pembagunan kelapa sawit di Riau sehingga telah menempatkan Propinsi Riau menjadi penghasil kelapa sawit terbesar kedua di Indonesia yaitu sekitar 1/3 (sepertiga) dari total produksi Crude Palm Oil (CPO) Nasional. Perkebunan sawit tahun 2007 telah mencapai luasan 2,157,091 hektar. Seperempat lahan kelapa sawit indonesia berada di propinsi riau, dari 2,158,091 hektar luas sawit riau 39 % Sawit berada di lahan gambut dan 55% berada dilahan gambut dalam dan sangat dalam. Selama 2002-2007 seluas 332,342 hektar hutan gambut telah berganti menjadi perkebunan sawit, dan 40% hutan alam yang di buka tersebut merupakan lahan gambut dalam dan 34% sangat dalam. Data resmi Dinas Perkebunan Riau tahun 2004 mencatat bahwa dari 312 Badan Usaha Perkebunan yang luasannya 2,789 Juta hektar hanya 169 Badan Usaha yang merealisasikan Pembangunan Kebunnya di Lapangan, sedangkan sisanya 143 Badan Usaha yang luasnya 846.257 Ha dinyatakan tidak aktif atau tidak merealisasikan Pembangunan kebun di lapangan. Dari 143 Badan Usaha yang tidak aktif tersebut tingkat perizinannya ada 66 buah (388.997 Ha) yang pada tingkat Pencadangan Gubernur/Izin Lokasi dari Bupati (PG/ILB), 56 buah (239.304 Ha) pada tingkat Pendaftaran Perizinan Usaha Perkebunan (PPUP/IUP), 15 Buah (187.749 Ha) Tingkat Pelepasan Kawasan Hutan (PKH) dari Menteri Kehutanan, dan 6 Buah (30.207 Ha) sudah mengantongi perizinan tingkat Panitia B/Hak Guna Usaha (PB/HGU). Kondisi tersebut adalah kenyataan yang menggambarkan bahwa ada Cukup Luas Lahan yang secara hukum sudah dikuasai suatu Badan Usaha, namum mengingkari niatnya membangun kebun.
Dengan demikian Obsesi Pemerintah yang menargetkan 3,1 Juta Hektar dalam RTRWP Riau untuk perkebunan adalah sebuah tanda tanya besar. Karena fakta di lapangan menunjukkan bahwa pemegang izin Perkebunan hanya mengejar Tegakan Kayu Alam, setelah kayu habis dan perusahaan mendapat untung, dengan berbagai alasan perusahaan tidak melanjutkan Pembangunan Kebun. Sehingga lahan-lahan yang ditinggalkan menjadi terlantar/kritis. (ANALISA TATA KELOLA KEHUTANAN DI PROVINSI RIAU)
Melihat kenyataan dan data diatas, pemerintah sebaiknya menghentikan perijinan baru perkebunan kelapa sawit dan meninjau ulang keabsahan dan kelayakan ijin perkebunan yang telah dikeluarkan. Kita harus menghitung berapa kerugian yang diakibatkan oleh pembukaan kebun kelapa sawit dan berapa keuntungan yang diperoleh. Kerugian karena hilangnya hutan tropis yang merupakan paru-paru dunia bukan hanya tanggung jawab Indonesia tapi juga tanggung jawab semua makhluk yang memiliki paru-paru. Hutan tropis purba di Kalimantan dan Papua merupakan salah satu yang terakhir dari jenisnya di bumi ini. Mungkin seharusnya dimasukan dalam 7 keajaiban dunia. Indonesia harus merasa bertanggung jawab untuk memelihara hutan tropis ini. Kalaupun kita akan memanfaatkan lahan hutan tropis di wilayah negara kita, pemanfaatannya harus dikendalikan dan diarahkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bukan kemakmuran perusahaan swasta asing. Sebagian besar minyak sawit yang dihasilkan diekspor dan diolah diluar negeri. Rakyat kita membayar mahal untuk minyak dan produk olahan sawit kita sendiri. Kalau hutan tropis dibabat untuk dijadikan lahan pertanian sehingga kita tidak perlu impor beras lagi, mungkin masih masuk akal. - Mitos bahwa biofuel akan memicu “Pembangunan Wilayah Pedesaan”
Pembangunan wilayah pedesaan atau rural area akibat pengembangan biofuel mungkin bisa terlaksana di Amerika Serikat atau negara dengan tingkat kemakmuran dan pendidikan yang relatif sudah baik dan merata. Pembangunan pedesaan akibat melonjaknya permintaan biofuel juga dapat terjadi dengan menjadikan masyarakat pedesaan sebagai pemeran utama dalam program produksi biofuel. Setiap kepala keluarga diberi penjabaran keuntungan untuk menanam kelapa sawit misalnya. Modal diberikan atau dibantu pemerintah dan perusahaan membeli dengan harga yang wajar. Jadi perusahaan hanya sebagai pembeli atau penampung saja. Seluruh infrastruktur disediakan oleh negara. Selama masa produktif, petani mengangsur pembayaran kepada pemerintah dengan disertai pembayaran bunga hutang dengan tingkat wajar. Dengan cara ini negara disamping membangun infrastruktur di wilayah terpencil yang memang sudah menjadi kewajibannya, juga mendapat keuntungan bunga dari modal yang ditanamkan. Namun cara ini juga harus tetap dilakukan pengawasan yang memadai.
Pasokan kelapa sawit yang berkesinambungan sebagai bahan bakar pengganti membutuhkan lahan perkebunan yang sangat luas dan harus terus menerus diadakan atau dibuka lahan baru. Hal ini disebabkan karena tanaman kelapa sawit di Asia yang dibawa dari tempat asalnya di Afrika membutuhkan waktu 4 tahun untuk menghasilkan buah atau panen pertama. Tanaman kelapa sawit terus dapat berbuah selama rata-rata 15 sampai 20 tahun. Setelah 20 tahun produktifitas pohon kelapa sawit menurun. Kebutuhan dunia untuk minyak sawit sudah begitu besar sebelum ada pemanfaatan untuk biofuel. Ada ribuan produk yang memerlukan minyak sawit, dari mulai sabun sampai pelumas. Begitu pemanfaatan untuk biofuel menjadi isu dunia dan harga sawit melambung, banyak perusahaan besar yang masuk ke industri ini. Sampai hari ini di Indonesia, banyak lahan perkebunan sawit yang dikelola dan dimiliki sepenuhnya oleh perusahaan swasta. Pemilikan dan pengelolaan sepenuhnya oleh perusahaan swasta tanpa pengawasan dan pengendalian ini membuat teori “pembangunan wilayah pedesaan” menjadi mustahil, terutama di negara berkembang dengan sistem kenegaraan yang kacau balau seperti Indonesia.
http://www.birdlife.org/eu/EU_policy/Biofuels/eu_biofuels2b.html. Seringkali hak-hak pekerja tidak dimengerti atau dimengerti tapi tidak dipenuhi di negara berkembang, dan ini mengarah pada kondisi kerja yang mengerikan bahkan lebih dekat pada perbudakan. Di Brazil, pemotong tebu mendapat sedikit diatas US$ 1 untuk setiap ton tebu yang dipotong, bekerja 12 jam dengan suhu diatas 30° C. 14 orang pemotong tebu dilaporkan tewas karena kelelahan selama masa panen Mei 2004-Juni 2005 (Oxfam, 2007). Perempuan di Indonesia sering kali bekerja tanpa upah di perkebunan sawit, untuk membantu suaminya memenuhi kuota produksi. Pada banyak kasus, perempuan yang bekerja di perkebunan mendapat perlakuan diskriminasi untuk mendapat hak pekerja dan pemenuhan hak terhadap resiko keamanan dan kesehatan. Pada beberapa kasus, petani penggarap atau buruh migran dipaksa untuk bekerja tanpa upah sebagai cicilan pembayaran hutang kepada perusahaan perkebunan. Hutang ini timbul pada saat perusahaan memberikan biaya hidup awal kepada petani penggarap atau dari biaya transportasi dan sewa untuk buruh migran (Oxfam, 2007). Pada Juni 2007, lebih dari 1.000 pekerja dilepaskan dari “kondisi yang dapat disamakan dengan perbudakan” pada perkebunan gula di Brazil (Amnesty International, 2008). Ada pula banyak permasalahan pada keadaan kesehatan yang buruk, kondisi perumahan yang tidak memadai, upah rendah, dan perbedaan perlakuan yang mencolok antara pekerja permanen dan harian. Karena serikat pekerja dan buruh tidak memiliki kekuatan hukum atau tidak punya serikat pekerja sama sekali, posisi pekerja menjadi sangat lemah dan permintaan mereka sering diabaikan oleh perusahaan asing atau pemerintah daerah (FoE, 2005b).
Tanpa pengawasan dan pengendalian yang berpihak pada rakyat, perusahaan besar dapat menentukan harga dengan leluasa. Buah kelapa sawit yang telah dipanen harus diproses dalam waktu 24 jam. Jika tidak, maka ia akan busuk. Transportasi menjadi sangat penting. Petani yang bermodal kecil tidak memiliki sarana transportasi yang memadai sehingga petani terpaksa menjual dengan harga yang ditentukan perusahaan daripada buah sawitnya membusuk tanpa diangkut dan diolah. Hal ini hanya merupakan salah satu sebab mustahilnya daerah pedesaan dibangun dengan bermitra dengan perusahaan swasta. Bertahun-tahun perkebunan kelapa sawit dan kebun-kebun lain dibuka dengan pembabatan hutan, tidak membuat wilayah di sekitar perkebunan maju, terutama disekitar perkebunan yang dikelola perusahaan swasta. Jalan darurat dibuat hanya sekedar supaya pengangkutan hasil panen berjalan. Sembilan puluh persen dari minyak sawit yang dihasilkan dari perkebunan di Indonesia di ekspor ke luar negeri, terutama Cina dan India. Petani sebagai pemilik lahan dan pekerja mendapatkan manfaat yang sangat sedikit dari perkebunan sawit yang dikelola perkebunan besar. Daerah pedesaan yang lahannya dijadikan perkebunan sawit bukan dibangun tapi justru ingin dihilangkan dari data kependudukan Republik Indonesia. Jadi yang tadinya ada desa di tempat itu, tadinya ada titik merah dalam peta Indonesia, dibuat sedemikian rupa supaya tidak ada lagi. Dan hal itu terjadi bukan hanya pada manusia tapi pada seluruh ekosistem yang ada di tempat itu.
Perkebunan Inti Rakyat yang dicanangkan Pemerintah Orde Baru memang di beberapa tempat sempat dapat mengangkat harkat martabat petani di daerah perkebunan. Tapi seiring dengan berjalannya waktu dan melemahnya pengawasan pemerintah, perusahaan inti mulai melakukan hal-hal yang merugikan petani plasma. Mulai dari pemberian bibit dengan kualitas rendah atau pemberian bibit dibawah umur tanam, pemberian pupuk yang tidak seimbang antara perkebunan inti dan plasma milik petani, dan masalah pelatihan dan pemberian informasi pada petani yang berkesan setengah-setengah. http://www.bongkar.co.id/daerah/kutai-kartanegara/1524-petani-plasma-kecewa.html Hal ini sangat merugikan petani plasma yang modalnya sangat minim. Pembagian yang kelihatan mudah dan jelas dalam perjanjian tertulis yang disetujui kedua pihak, menjadi ruwet dan tidak transparan pada pelaksanaannya. Petani yang tanpa modal dan tanpa dukungan pemerintah menjadi bergantung pada perusahaan sehingga lambat laun perusahaan bisa memaksakan kemauan mereka pada petani. Selanjutnya untuk memaksimalkan keuntungan maka perusahaan akan berusaha untuk secara sepihak membatalkan perjanjian atau menggunakan perjanjian itu untuk kepentingan perusahaan. Petani plasma akan disingkirkan dan demi efisiensi perusahaan akan menghemat biaya yang harus dikeluarkan untuk petani plasma. Hal ini akan secara alami terjadi karena perusahaan adalah entitas ekonomi yang berjalan dengan prinsip-prinsip ekonomi.
- Mitos bahwa Biofuel tidak akan mengakibatkan kelaparan
Pendukung Biofuel mengatakan bahwa kelaparan bukan disebabkan karena scarcity tapi karena poverty. Berdasarkan peneilitian FAO (Food and Agriculture Organisation), pasokan makanan di bumi ini cukup untuk memberi makan setiap orang setiap hari dengan 2.700 kalori dengan buah-buahan segar, biji-bijian, sayuran, gandum, susu dan produk susu dan daging. Tetapi karena kemiskinan, 824 juta orang mengalami gizi buruk dan kelaparan. Kemiskinan bukan diakibatkan oleh biofuel tapi disebabkan karena tata perekonomian suatu bangsa yang tidak memungkinkan semua orang mendapat jatah kue ekonomi dari pembangunan ekonomi negara tersebut. Pada tahun 2000 para pemimpin negara mengadakan pertemuan dan memutuskan untuk mengurangi jumlah penduduk miskin hingga setengahnya pada tahun 2015. Namun perkembangan yang ada sampai hari ini sangat sedikit dan 2015 hanya tersisa 4 tahun lagi. Penduduk miskin menghabiskan 50%-80% dari seluruh pendapatan mereka untuk makanan yang sama sekali tidak mencukupi kebutuhan gizi minimal manusia. Apabila kebijakan biofuel dipaksakan untuk dilaksanakan di seluruh dunia terutama di negara berkembang, maka tanaman pangan dan tanaman biofuel akan bersaing untuk mendapatkan lahan, sumber daya dan air.
Kelaparan sudah terjadi di berbagai belahan dunia karena kegagalan panen, kemiskinan dan sebab lain. Kelaparan sebagai akibat langsung program biofuel memang belum terjadi. Tapi dengan keterbatasan lahan di bumi ini, pertambahan jumlah penduduk dan produsen otomotif dunia yang terus berkembang, membuat kekhawatiran akan food scarcity menjadi sangat logis dan masuk akal. Perkebunan kelapa sawit yang ada di Indonesia memang bukan dibuka di lahan pertanian, melainkan dengan membuka hutan tropis dan lahan tidur. Namun penduduk kurang mampu di Indonesia masih membutuhkan harga bahan pangan yang stabil dan dijaga untuk tetap terjangkau. Kekhawatiran akan kelaparan karena biofuel mungkin belum terlalu menjadi ancaman serius. Apalagi sekarang pemerintah telah menetapkan kebijakan ketahanan pangan nasional. Namun dalam jangka panjang, Indonesia yang sangat membuka diri dalam perdagangan Internasional, harga bahan pangan di dalam negeri akan sangat dipengaruhi oleh harga pangan dunia.
http://earth911.com/news/2011/03/31/study-says-biofuel-production-may-increase-world-hunger/ Ketika pemerintah Amerika Serikat mendorong digunakannya biofuels, semakin banyak lahan pertanian yang dikonversi menjadi ladang untuk produksi biofuel. Menurut Dr Jane Orient, managing director Journal, permintaan hasil pertanian baik untuk pangan dan biofuel membuat harga pangan dunia naik dan membuat penduduk di negara berkembang semakin tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup dasarnya. “Ketika anda mengisi ethanol dalam tangki bensin, anda membuat harga jagung tortilla di Mexico melambung naik”, katanya.
Penelitian Dr. Indur Goklany, Ph.D menyimpulkan bahwa ekspansi produksi biofuel dan meningkatnya harga pangan akan mengakibatkan 192.000 kematian di negara berkembang pada tahun 2010. Berdasarkan penelitiannya, produksi biofuel juga akan mengakibatkan meningkatnya wabah penyakit di negara berkembang. Hal ini mengakibatkan 6,7 juta disability-adjusted life years di 2010-jumlah kumulatif dari jumlah tahun yang hilang karena kematian dini akibat penyakit dan jumlah tahun yang tersisa dalam keadaan cacat/tidak mampu yang diakibatkan penyakit. Untuk mendukung kesimpulannya, Goklany mengandalkan berbagai studi untuk memperkirakan jumlah orang di negara berkembang yang jatuh miskin akibat meningkatnya harga bahan pangan. Kesimpulan ini juga didukung oleh data statistik mengenai kontribusi kemiskinan pada kematian dan penyakit dari World Health Organization dan World Bank.
Penelitian lain menemukan bahwa peningkatan produksi biofuel merupakan satu dari banyak faktor penyebab kenaikan harga pangan dunia. Menurut Paul Winters, direktur komunikasi BIO, sebuah organisasi yang mewakili perusahaan bioteknologi, institusi akademik dan kelompok terkait, kenaikan harga pangan disebabkan terutama karena perusahaan-perusahaan raksasa penghasil bahan pangan menaikkan harga produk mereka. Sementara biofuel berdasarkan laporan yang disusun oleh Congressional Budget Office hanya mengakibatkan kenaikan 10-15% dari harga pangan pada April 2007 sampai April 2008.
- Mitos bahwa Biofuel tidak menyebabkan konflik sosial di area perkebunan
Konflik sosial akan selalu terjadi pada suatu masyarakat yang terpapar dengan masyarakat lain dengan kondisi berbeda atau dengan keadaan dan pihak-pihak diluar masyarakat tersebut. Masyarakat di pedalaman dan perbatasan Indonesia, belum semua tersentuh pendidikan atau bahkan belum tersentuh peradaban. Hal ini menyulitkan proses asimilasi terutama pada kemampuan dan pengetahuan perkebunan sawit. Banyak dari mereka yang masih hidup dari hutan disekitar mereka. Mereka tidak memiliki kemampuan dan pengetahuan produksi perkebunan. Pemerintah Indonesia tidak melihat keterbelakangan kemampuan produksi menjadi soal. Kenyataan ini bisa dilihat dari strategi yang digunakan untuk menjadikan Indonesia sebagai pemasok kelapa sawit nomor 1 di dunia dengan perluasan besar-besaran perkebunan kelapa sawit. Memang, dorongan atas ambisi pemerintah tersebut tidak bisa dilepaskan dari pesanan kapitalisme internasional yang tertuang dalam Letter Of Intent (LOI) IMF-RI Oktober 1997 dalam butir 39 tentang “kesepakatan hubungan pengembangan perkebunan kelapa sawit”. Hal-hal seperti ini sudah waktunya ditinjau kembali. Pemerintah Indonesia adalah administrasi yang bisa ada karena dukungan rakyat Indonesia. Sudah menjadi tugas dan kewajiban pemerintah untuk memperhatikan kepentingan rakyat Indonesia.
http://www.pacificecologist.org/archive/17/pe17-biofuels-devastate-se-asia.pdf Pembangunan perkebunan telah menimbulkan banyak konflik lahan di seluruh dunia. Di Indonesia, karena penduduk asli dan komunitas pedesaan lainnya jarang yang memiliki hak atas tanah yang resmi, perusahaan kelapa sawit kemudian mengambil alih bidang tanah yang sangat luas atas hak tanah adat dan hutan yang secara tradisioal memberi kehidupan pada 40 juta orang. Pembukaan lahan seperti itu menyebabkan banyak konflik yang berkelanjutan, dan bahkan mengarah pada kekerasan antara komunitas lokal dan perusahaan. Sampai Juli 2001, telah terjadi 261 konflik yang melibatkan 566 desa yang mempermasalahkan 569.000 hektar lahan di Indonesia (FoE, 2005b). Di Kolombia, diperkirakan antara 1,87 sampai 3,83 juta orang telah dipindahkan secara paksa dengan pembunuhan, pembantaian, teror, penculikan dan penyiksaan. Tanah mereka dirampas dan sebagian ditanami pohon sawit (Mingorance, 2006). Kehidupan puluhan ribu orang terancam ketika Pemerintah Kenya menyetujui Tana Delta di Kenya sebagai sasaran penyewaan tanah untuk berbagai keperluan.
Perusahaan-perusahaan besar dan pendukung-pendukung biofuel terutama perusahaan otomotif, perusahaan yang membutuhkan minyak sawit sebagai bahan bakunya, melakukan kampanye-kampanye tandingan untuk menutupi kenyataan yang ada. Untuk melawan kampanye hitam terhadap industri kelapa sawit, Pemerintah Indonesia dan Malaysia sepakat mendirikan Dewan Minyak Sawit Eropa (EPOC, European Palm Oil Council) yang akan direalisasikan tahun ini. Tahap pertama pembentukan EPOC itu, kedua negara berencana menggelar kampanye bersama soal kelapa sawit di Washington DC, Amerika Serikat.
Kasus Mesuji bukan hanya dan tidak terbatas pada masalah sengketa lahan, masalah hukum, penggal kepala, pidana, dan masalah agraria. Kasus mesuji harus dicermati secara luas dan detail. Kasus Mesuji tidak hanya terjadi di Mesuji tapi terjadi di seluruh Indonesia dengan intensitas yang berbeda sejak jaman dahulu kala. Kasus ini bisa timbul bukan karena satu dimensi masalah dan terjadi seketika, tapi disebabkan karena multi dimensi permasalahan makro bangsa ini dan secara teknis berproses seiring dengan berjalannya waktu. Kasus Mesuji harus membuat pemerintah mengkaji kembali kebijakannya di berbagai bidang untuk dapat mencegah dan menghilangkan akar penyebab timbulnya masalah ini. Kasus Mesuji mengekspose perkebunan sawit dan perusahaan asing yang mengelolanya. Perkebunan sawit memang sangat menguntungkan negara ini. Berbilyun-bilyun devisa masuk melalui produksi sawit. Namun pengolahan minyak sawit bukan dilakukan di Indonesia tapi di negara lain. Sebagian besar bahkan hampir seluruh produksi minyak sawit dijual ke luar negeri. Indonesia hanya dijadikan penyedia bahan mentah sementara nilai tambah atas pengolahan minyak sawit dinikmati negara lain. Hal ini harus dicegah dan harus dilakukan penataan industri minyak sawit dari hulu sampai hilir.
I. KEBIJAKAN ENERGI JANGKA PANJANG DAN TRANSPORTASI MASSAL
II. PERTANIAN RAKYAT—PERKEBUNAN RAKYAT—KESEJAHTERAAN RAKYAT
III. SISTEM & PROSEDUR ANTI KORUPSI DAN PENYEDERHANAAN DUITKRASI
IV. INDUSTRI TUKANG VS INDUSTRI MANDIRI
V. BERDAULAT—BERDIKARI—BERKEPRIBADIAN
1 komentar:
LuckyClub Lucky Club - Live Casino & Gaming
Lucky Club, which is located in the centre of Las Vegas, is home luckyclub to more than 500,000 square feet of casino action. It also serves various games,
Posting Komentar