II. PT DIRGANTARA INDONESIA; ANTARA PRESTIGE DAN PROFIT
PT DI memang merupakan cita-cita jangka panjang, suatu industri kedirgantaraan yang merupakan industri padat teknologi, padat modal dan belum memiliki industri dasar dengan efisiensi dan efektifitas yang cukup untuk mendukungnya. Kita memiliki sumber daya manusia yang bisa merancang dan mungkin membuat pesawat terbang. Sumber daya manusia merupakan syarat mutlak untuk industri ini. Tetapi untuk mendiirikan dari dasar, suatu industri inovasi kedirgantaraan yang mengolah bahan mentah sampai menjadi pesawat terbang yang bisa dijual, membutuhkan modal dana yang sangat besar. Selain dana, banyak hambatan terutama lain yang membuat PT DI terseok-seok.
Sebenarnya PT DI memiliki potensi sukses sebagai perusahaan pembuat pesawat terbang, apabila PT DI dikelola dengan manajemen yang baik dan profesional dengan mengedepankan paradigma bisnis yang wajar dan tidak bertumpu pada pemerintah yang berkuasa. Masalah di PT DI mencuat sejak krisis tahun 1998. Kegagalan pembuatan N250 dan N2130 yang telah memakan biaya yang sangat besar dan akhirnya hanya diakui sebagai sunk cost. Larangan IMF agar pemerintah Soeharto tidak lagi memberikan bantuan keuangan kepada PT DI sebenarnya dapat dilihat sebagai suatu langkah penghematan atau profesionalisme badan usaha selain dapat pula dipandang sebagai langkah untuk mematikan industri dirgantara Indonesia.
Titik berat pendirian industri dirgantara ini adalah pada faktor “kebanggaan”. Sementara tahapan pembangunan yang dijalankan pemerintah orde baru waktu itu menitikberatkan pada sektor pertanian, swasembada pangan dan pembuatan mesin industri, tiba-tiba dengan gegap gempita bangsa ini mendirikan pabrik pesawat terbang. Kondisi keuangan bangsa kita yang waktu itu bisa dikatakan “ajaib” membuat pendirian IPTN berjalan dengan ajaib pula. Dana berlimpah ruah, dukungan penuh dari orang nomor satu membuat segalanya menjadi mudah. IPTN berjalan dengan baik dan memang dapat memproduksi pesawat yang mendapat pengakuan internasional. Hal ini memang patut kita banggakan. Namun seiring dengan berjalannya waktu, “bangga” ini sudah tak cukup lagi. IPTN sebenarnya bisa dikatakan proyek mercu suar yang tidak tahu kapan akan menghasilkan keuntungan. Kondisi keuangan IPTN sebagai suatu entitas bisnis sangat tidak menguntungkan. Namun demikian dalam bidang penguasaan teknologi dan penerapannya, industri ini memang memiliki prestasi yang sangat luar biasa.
Harus pula diakui bahwa sebelumnya bahwa biaya pengembangan dan operasi PT. IPTN sangat boros dan jor-joran terutama terlihat dalam bentuk pembelian peralatan yang serba mahal tetapi tidak tepat guna. Banyak inefisiensi terjadi sehingga dapat dikatakan PT. IPTN merupakan suatu industri serba mahal (high-cost aircraft industry), yang tidak sensitif terhadap permintaan pasar. Padahal banyak kasus di negara lain yang juga memiliki industri penerbangan yang bekerja dengan prinsip efisiensi dan struktur biaya yang kompetitif seperti industri pesawat di China, India, Korea Selatan, Brazil, dll.
Selama tahun 1998 sampai akhir 1999, PT. IPTN terus mengalami kesulitan likuiditas dan modal kerja yang berdampak pada operasi perusahaan. Salah satu pilihan adalah penutupan perusahan seperti yang dianjurkan oleh IMF. Tetapi kerugian finansial bagi negara jika perusahaan ditutup akan sangat mahal dan investasi sumber daya manusia dalam bentuk belasan ribu pegawai yang terdidik dan memiliki keahlian akan hilang sia-sia. Disamping itu, negara kepulauan yang sangat luas seperti Republik Indonesia jelas memerlukan industri penerbangan dan maritim asalkan kompetitif dan sesuai dengan permintaan pasar. Baru pada sekitar tahun 2000, PT DI mulai bangkit dengan menerima pesanan dari dalam dan luar negeri.
Kesulitan keuangan PT DI sebenarnya lebih disebabkan karena dampak dari kekacauan dan kegagalan masa lalu yang memberatkan PT DI untuk melangkah ke depan. Selain faktor kesalahan menajemen, masalah hutang masa lalu yang tak kunjung selesai juga sangat mempengaruhi pencapaian DI saat ini. Jadi walaupun penjualan mengalami kenaikan, PT DI tetap mengalami kerugian. Berbagai usaha telah dilakukan oleh manajemen PT DI dan pemerintah untuk membantu mengangkat PT DI dari kesulitan yang dialami. Tahun 2010 PT Dirgantara Indonesia (DI) mengaku sudah mendapatkan bantuan pinjaman non cash alias non tunai dari perbankan, tapi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di industri penerbangan ini mengaku masih tak bisa menutupi kerugiannya. Dan segar ini belum juga dapat menyelesaikan permasalah likuiditas dan modal kerja PT DI. Akibat kesulitan modal kerja, sejak 2008 PT DI kerap gagal menyelesaikan pesanan. Padahal memproduksi pesawat memakan waktu hingga dua tahun sejak kontrak diteken. Agar perusahaan bisa berjalan normal, minimal dalam setahun PT Dirgantara harus mendapatkan pesanan Rp 1,5 triliun, dengan modal kerja minimal Rp 750 miliar. Dengan peralatan dan mesin industri yang semakin tua, PT DI juga mengalami masalah produktifitas. Peremajaan mesin dan peralatan juga akan membutuhkan dana yang tidak sedikit.
Kesulitan keuangan yang dialami PT DI membuat pembayaran gaji karyawan kerap telat dalam beberapa bulan terakhir. Gaji yang seharusnya dibayarkan tiap tanggal 25 atau 26, baru dibayarkan satu bulan kemudian. Untuk gaji Januari, direksi telah mengeluarkan surat edaran yang mengatur gaji karyawan berpenghasilan kurang dari Rp 2,5 juta dibayarkan pada 28 Januari. Adapun karyawan yang gajinya di atas Rp 2,5 juta akan dibayarkan Rp 2,5 juta pada 28 Januari dan sisanya akan dibayarkan secepatnya. Kesulitan keuangan PT DI telah sampai pada tahap dimana PT DI sebagai entitas ekonomi tidak bisa menutup beban tetapnya.
PT DI sudah merumuskan program restrukturisasi dan revitalisasi perusahaan 2011-2015, sehingga bisa berjalan baik dan menghasilkan keuntungan. Namun, pelaksanaannya itu membutuhkan dukungan berupa bantuan modal, terutama dari pemerintah, yang harus dicairkan mulai tahun ini. Ini juga terkait pesanan pekerjaan untuk PT DI dari pihak lain yang bisa digarap mulai tahun ini dan potensi pangsa pasar yang bisa dikerjakan hingga puluhan tahun ke depan. Restrukturisasi dan revitalisasi hanya bisa dilakukan jika ada bantuan dalam bentuk penyertaan modal negara. Bantuan dana untuk modal kerja dari pemerintah akan digunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang lalu dan menggarap bisnis di masa mendatan. Menteri Badan Usaha Milik Negara Mustafa Abubakar siap mengucurkan bantuan likuiditas bagi PT Dirgantara Indonesia (PT DI). Pemerintah sudah mendapatkan beberapa sumber pendanaan baru untuk menyokong perusahaan tersebut. Salah satu sumber pendanaannya adalah dari PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero).
PT DI bertahan dalam putaran waktu selama 35 tahun. Telah banyak yang dilakukan oleh pemerintah yang silih berganti untuk menangani PT DI. PT DI sampai hari ini masih dipercaya untuk menjadi mitra strategis Airbus untuk membuat komponen pesawat dan perawatannya. PT DI juga sedang mengerjakan pesanan pesawat dari Korea dan perusahaan-perusahaan penerbangan di negara lain. Hal ini membuat kita bisa yakin bahwa memang PT DI merupakan aset bangsa yang perlu di berdayakan. Namun demikian berapa dana yang harus disediakan untuk memberdayakan PT DI? Butuh waktu berapa lama PT DI bisa menjadi entitas ekonomi yang mandiri dan bisa menyumbangkan deviden dan pajak kepada negara, selain kebanggaan? Selama kurun waktu 35 tahun tersebut, PT DI belum bisa menjadi suatu industri yang benar-benar “strategis” bagi bangsa ini. PT DI mendapat keistimewaan dan kemudahan di era orde baru. Kemudian dihantam oleh krisis moneter dan kemudian nyaris dipailitkan. Sempat terjadi beberapa kali pergantian manajemen, dan sempat makin terpuruk pada periode 2002-2003 karena pergantian manajemen yang dinilai tidak kompeten dan mengakibatkan tidak adanya order sehingga terjadi pemutusan hubungan kerja 6.600 pegawainya.
Paradigma PT DI sekarang telah berubah. Restrukturisasi juga telah dilakukan. DR. Rizal Ramli, saat menjadi saksi ahli dalam sidang kasus PHK karyawan PT Dirgantara Indonesia, di Pengadilan Tinggi Negeri Bandung (19 Januari 2003) memberikan solusi yang saya kutip seperti dibawah ini;
- Meneruskan perubahan paradigma dari high-cost aircraft industry menjadi competitive aircraft industry dan meneruskan reorientasi bisnis ke arah produksi parts dan komponen, dan produksi helikopter dibawah lisensi (NBO, Nbell, NAS-332, Super Puma), dan pesawat kelas CN-235 dan NC-212.
- Melakukan pergantian Direksi dan manajemen PT. DI yang jelas-jelas tidak mempunyai kemampuan dan jaringan internasional untuk mendapatkan order pekerjaan (terbukti tidak ada order pekerjaan selama tahun 2003), dan hanya mampu menyalahkan karyawan melalui tindakah PHK. Manajemen yang baru harus memenuhi kriteria integritas, kepemimpinan, kemampuan teknis dan memiliki jaringan internasional. Dengan kriteria tersebut manajemen harus mampu mendapatkan order pekerjaan baru dari industri penerbangan dunia.
- Mengalihkan rencana dan kontrak pembelian helikopter tempur dari Rusia senilai US$ 70 juta dan dari Polandia sebesar US$ 23 juta kepada PT. DI. Pengalihan pekerjaan dan kontrak tersebut cukup untuk memberikan ruang gerak untuk penyelamatan PT. DI. Adalah ironis dan sama sekali tidak bertanggung jawab bagi pemerintahan Megawati untuk membeli helikpoter dari Rusia dan Polandia padahal PT. DI memiliki kemampuan untuk membuat helikopter tempur dibawah lisensi fabrikan terkemuka di dunia seperti NBO, Nbell, NAS-332, dan Super Puma.
- Memerintahkan kepada manajemen baru PT. DI untuk melakukan divestasi aset-aset yang tidak terkait langsung dengan kegiatan produksi (non- core asset) sehingga dapat dijadikan tambahan modal kerja perusahaan.
- Melanjutkan restrukturisasi finansial dan utang PT. DI sehingga perusahaan kembali menjadi viable sehingga memiliki akses kepada sektor perbankan dan pasar uang untuk mendapatkan modal kerja tambahan.
- Unit-unit pabrikasi dan permesinan yang berkaitan dengan teknologi persenjataan dapat disinergikan dengan unit sejenis dari PT PINDAD, PT DAHANA dan PT PAL untuk diarahkan sebagai perusahaan mandiri dalam teknologi persenjataan dan teknologi militer. Dengan langkah ini, program efisiensi dan peningkatan daya saing untuk produk komersiel dapat ditingkatkan dengan lebih sistimatis dan terencana.
Apakah 6 hal diatas bisa dilaksanakan atau sudah atau belum saya juga kurang tahu. Apakah kalau hal diatas dilakukan bisa menyelamatkan PT DI yang sekarang sudah sering telat membayar gaji pegawai?
Sebenarnya saya merasa kurang kompeten menulis tentang PT DI. Data yang bisa saya ambil dari internet adalah data-data lama yang tidak menggambarkan keadaan sekarang, kecuali berita tentang PT DI terlambat membayar gaji pegawai. Saya melihat acara “Mari Bung Rebut Kembali” yang ditayangkan salah satu stasiun TV swasta dimana dalam acara itu Bapak B.J. Habibie memberikan keterangan bahwa:
APABILA PT DI DIBERIKAN OLEH PEMERINTAH US$ 500.000.000 MAKA AKAN DAPAT MENGHIDUPKAN KEMBALI PT DI,
DANA ITU AKAN KEMBALI DALAM 5 TAHUN,
SEMUA YANG TERKAIT DENGAN PT DI YANG AKIBAT KEJATUHAN PT DI JUGA IKUT JATUH SEPERTI PUSPITEK DAPAT HIDUP KEMBALI,
“ANAK-ANAK INTELEKTUAL” PAK HABIBIE YANG SELAMA INI KERJA DI LUAR NEGERI AKAN MAU DIPANGGIL PULANG UNTUK MENDARMABAKTIKAN KEMAMPUAN UNTUK INDONESIA.
Hal tersebut diungkapkan Bapak B.J Habibie di akhir acara sebelum memberi wejangan kepada karyawan PT DI. Apa benar angka lima ratus juta dolar amerika itu bisa menghidupkan PT DI. Dalam arti PT DI bisa berdikari, bisa membiayai dirinya sendiri dan mengembalikan dana itu dalam jangka waktu 5 tahun. Kalau itu benar, angka itu kecil. 500 juta dolar Amerika dengan kurs 10.000 saja hanya 5 triliun rupiah. Daripada dipakai untuk kampanye lebih baik diberikan PT DI. Tapi siapa yang punya angka 5 triliun ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar