Ahmadiyah merupakan masalah yang sulit karena baik dibubarkan maupun tidak dibubarkan akan membawa masalah yang serius. Masalah ini rupanya belum bisa diselesaikan dengan SKB 3 menteri. Harus ada penanganan yang benar-benar menyeluruh sehingga masalah ini bisa dituntaskan. Ahmadiyah ini memang menjadi masalah di beberapa negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam seperti di Pakistan. Masalah Ahmadiyah menyimpan potensi konflik horizontal sekarang dan di masa yang akan datang, yang mungkin akan berakibat luas dan fatal. Masalah Ahmadiyah ini bisa menjadi alat bagi pihak-pihak tertentu, baik dari dalam negeri maupun internasional. Masalah ini akan menjadi isu yang terus mengganggu, karena berkaitan erat dengan masyarakat muslim di Indonesia.
Indonesia sudah dibentuk sedemikian rupa untuk menjadi negara demokrasi. Dalam negara demokrasi, agama dan kepercayaan merupakan hak pribadi yang dijamin kebebasannya dan tidak bisa diganggu gugat. Segala bentuk sikap non-toleransi terhadap agama dan kepercayaan tertentu merupakan suatu pelanggaran hak asasi. Kebebasan beragama ini juga dijamin oleh Perserikatan Bangsa-bangsa dengan Universal Declaration of Human Rights, Resolusi 6/37, Declaration on the Elimination of all Forms of Intolerance and of Discrimination Based on Religion or Belief, dan berbagai dokumen lain yang menjamin kebebasan berkeyakinan. Namun demikian untuk resolusi 6/37 ini, Indonesia abstain.
Pembubaran Ahmadiyah harus berdasarkan hukum yang berlaku. Ada banyak ormas-ormas yang lebih layak untuk dibubarkan daripada Ahmadiyah; diluar konteks kesesatan agama. Namun tetap ormas-ormas tersebut juga tidak dapat dibubarkan begitu saja. Membubarkan organisasi Ahmadiyah yang sudah terlanjur berdiri merupakan suatu bentuk pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah suatu negara. Pengikut Ahmadiyah tidak melakukan hal-hal yang membuat organisasi Ahmadiyah secara yuridis formil dapat dibubarkan seperti perbuatan makar, terorisme atau hal lainnya.
Timbul pertanyaan, apakah kalau membubarkan organisasinya akan menghilangkan keyakinannya? Keyakinan adalah sebuah ide. Ide tidak bisa dilawan atau ditangani secara fisik. Ide harus dilawan dengan ide juga. Pembubaran Ahmadiyah tidak akan menyelesaikan masalah. Ahmadiyah akan tetap ada sebagai ide dan keyakinan. Penyebaran dan perkembangannya tidak dapat dikendalikan dan akan timbul semacam pengesahan bagi sebagian umat Islam yang menyamakan Ahmadiyah sebagai kaum murtad, untuk menghakimi secara sepihak orang-orang Ahmadiyah. Hal ini akan sangat membahayakan masyarakat kita. Sejarah membuktikan bahwa apabila suatu ide atau keyakinan ditekan atau bahkan dilakukan penganiayaan terhadap pengikutnya, ide tersebut tidak hilang tapi justru semakin tersebar dan makin banyak pengikutnya. Hal ini sepertinya terjadi pula untuk Ahmadiyah. Tragedi berdarah pernah terjadi di Pakistan dan beberapa negara Islam lainnya. Namun Ahmadiyah tidak kemudian hilang dari muka bumi.
Pakistan dapat menyelesaikan masalah Ahmadiyah dengan melakukan amandemen undang-undangnya. Pakistan merupakan pecahan dari negara India yang memisahkan diri karena mayoritas masyarakatnya muslim. Pada proses pembentukkan Pakistan, terjadi perpindahan 3,5 juta masyarakat Hindu dan Sikh yang ada di daerah Pakistan ke India, dan 5 juta masyarakat muslim di daerah India ke Pakistan. Namun demikian ada sebagian masyarakat Hindu & Sikh yang bertahan di Pakistan. Pakistan yang kemudian berbentuk republik Islam, kemudian membedakan dalam undang-undangnya antara masyarakat muslim sebagai mayoritas dan masyarakat Hindu dan Sikh dan lainnya sebagai minoritas. Ahmadiah yang tumbuh dalam masyarakat Pakistan kemudian mulai menunjukkan dirinya dan berakibat konflik horizontal. Walaupun ini juga merupakan akibat dari dua hal; yaitu kisruhnya pemerintahan dan politik di Pakistan dan kuatnya campur tangan para ulama dalam pemerintahan dan masyarakat Pakistan. Pemerintah Pakistan kemudian mengubah undang-undangnya dan menggolongkan Ahmadiyah sebagai golongan minoritas, sama seperti Hindu dan Sikh. Indonesia tidak membedakan secara yuridis masyarakat yang mayoritas atau minoritas. Sehingga penyelesaiannya tidak bisa seperti di Pakistan. Namun kita memiliki masalah yang sama seperti di Pakistan dulu.
Penyimpangan dari Ahmadiyah ini adalah mengakui Nabi setelah Muhammad SAW. Ahmadiyah memiliki kitab suci sendiri yang bukan al-Qur’an. Ahmadiyah juga memiliki kiblat sendiri. Ahmadiyah mengisolasi diri baik dari segi ibadah maupun kemasyarakatan dan mungkin masih ada lagi penyimpangan lain yang saya tidak tahu. Penyimpangan-penyimpangan ini membuat Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa sesat dan menyesatkan pada Ahmadiyah. Sebagian Umat Islam di Indonesia menyatakan pula bahwa Ahmadiyah sesat dan harus dibubarkan secara paksa, harus diperangi seperti kaum murtad di jaman Abu Bakar. Hal inilah sebenarnya yang membuat masalah Ahmadiyah menjadi masalah besar.
Umat Islam di Indonesia pun berbeda pendapat dalam menangani Ahmadiyah. Selain yang menganggap bahwa Ahmadiyah sama dengan kaum murtad pada jaman Abu Bakar, ada sebagian umat Islam yang lain yang menganggap bahwa Ahmadiyah meskipun mungkin murtad, tapi masih bisa diperbaiki, dibawa ke jalan yang benar dengan dakwah, dan tetap memiliki hak untuk hidup tenang di Indonesia. Dua pendapat yang dianut oleh pihak yang berbeda ini juga pernah berakibat konflik antara mereka sendiri.
Tuntutan dari umat muslim yang menganggap Ahmadiyah adalah kaum murtad adalah untuk tidak menggolongkan Ahmadiyah sebagai bagian dari agama Islam. Dan memang pada kenyataannya Ahmadiyah tidak lagi Islam. Mereka memiliki kitab suci, kiblat dan nabi mereka sendiri. Namun demikian mereka tetap mengaku Islam dan menyebut diri mereka “Islam Ahmadiyah”. Kalau menyatakan bahwa Ahmadiyah bukan Islam bisa menyelesaikan masalah, maka tidak ada salahnya pemerintah melakukannya. Pakistan melakukannya dan perkara ini bisa selesai. Sekarang masalahnya adalah bagaimana mewujudkan, mengadministrasikan, dan meyuridisformalkan ketidakIslaman Ahmadiyah.
Kita harus melihat dulu keadaan di Indonesia. Agama atau keyakinan dari Warga Negara Indonesia tercantum dalam Kartu Tanda Penduduk. Lepas dari benar atau salah, pantas atau tidak, perlu apa tidak, namun kenyataannya informasi agama seseorang masih tercantum dalam KTP di Indonesia. Banyak pihak yang berpendapat bahwa informasi mengenai keyakinan seseorang tidak perlu dicantumkan dalam KTP. Apalagi di negara dengan tingkat demokratisasi yang begitu tinggi seperti di Indonesia ini. Namun demikian, kalau kita ingin mereka-reka alasan, maka pencantuman agama dalam KTP merupakan konsekuensi administratif dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa dari Pancasila. Setiap warga negara harus memiliki agama atau dengan kata lain harus bertuhan. Informasi dalam KTP kemudian diatur dalam UU No 23/2006 tentang Administrasi dan Kependudukan (Adminduk). KTP mencantumkan gambar lambang Garuda Pancasila, peta wilayah NKRI, NIK, nama, tempat tanggal lahir, jenis kelamin, agama, status perkawinan, golongan darah, alamat, pekerjaan, kewarganegaraan, pasfoto, masa berlaku, tempat/tanggal dikeluarkan KTP, tandatangan pemilik KTP, serta nama dan nomor induk pegawai pejabat yang menandatanganinya (Pasal 64 Ayat 1).
Negara kita hanya mengakui 6 agama saja. Padahal di Indonesia ini ada berbagai keyakinan yang dianut oleh masyarakat kita. Apabila seseorang menganut agama atau kepercayaan yang tidak termasuk dari salah satu agama yang diakui oleh negara, maka akan timbul masalah dalam pengisian kolom agama dalam KTP. Seorang penganut agama Baha’i pernah menceritakan pengalamannya ketika akan mengurus KTP. Ia ketika ditanya beragama apa, ia menjawab bahwa ia beragama Baha’i. Namun ia diarahkan untuk mencantumkan agama Islam dalam KTP nya supaya mempermudah proses pembuatan KTP. Walaupun ia sebenarnya keberatan. Ada lagi cerita tentang orang-orang yang menganut kepercayaan lain seperti Sedulur Sikep, Agama Sunda Wiwitan, dan Parmalim di Sumatera. Mereka dianggap tidak beragama karena keyakinan yang mereka anut menurut aturan pemerintah tidak terdefinisikan sebagai agama. Dalam KTP mereka tertulis tanda strip (-) dalam kolom agama. Pencantuman tanda strip ini membuat kesan sang pemiliki KTP tidak beragama, tidak bertuhan, komunis, dan atheis. Hal seperti ini sepertinya perlu dikaji lebih dalam oleh pemerintah.
Perkembangan jaman sekarang ini, dimana orang sudah bebas untuk berpikir semaunya, mau tidak mau kita harus memberi ruang kepada orang-orang yang memiliki keyakinan diluar keenam agama yang diakui resmi di Indonesia. Keyakinan seseorang merupakan Hak Asasi yang dijamin oleh undang-undang kita sendiri dan aturan-aturan internasional. Jadi perlu kiranya ada sedikit perubahan dalam administrasi kependudukan yang secara teknis tercantum dalam KTP. Kita tidak bisa memaksa orang untuk secara administratif kependudukan memeluk agama tertentu, dan tidak bisa pula secara administratif menggolongkan orang tidak punya agama.
Negara tetap mengakui 6 agama sesuai dengan definisi agama dalam undang-undang, dan jangan mengakui agama baru apalagi kepercayaan sebagai agama resmi. Keenam agama ini berada dibawah naungan Kementerian Agama. Dahulu, sewaktu Kementerian Pendidikan Nasional masih bernama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen ini menaungi aliran kepercayaan asli Indonesia sebagai bagian dari budaya bangsa. Mungkin sekarang ini aliran kepercayaan ditempatkan dibawah pengawasan Kementerian Budaya dan Pariwisata. Sedangkan untuk keyakinan seperti Baha’i dan lainnya dapat ditempatkan dibawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Kolom agama dalam KTP ini dapat dimanfaatkan untuk menyelesaikan masalah Ahmadiyah. Apabila perubahan dilakukan, dan informasi agama dapat lebih fleksibel maka informasi agama dalam KTP dapat berbunyi; “lainnya-Ahmadiyah” atau “lainnya-Baha’i” dan lain sebagainya. Sedangkan untuk agama yang diakui pemerintah tetap ditulis seperti adanya. Jadi negara tetap hanya mengakui 6 agama saja. Definisi dan macam dari kata “lainnya” dalam KTP ini tetap diatur dalam peraturan pemerintah atau peraturan daerah sehingga lebih mudah merubahnya. Dengan cara ini “ketidakIslaman” Ahmadiyah dapat diwujudkan secara administratif kependudukan. Untuk itu harus jelas siapa-siapa saja yang memeluk agama Ahmadiyah. Kejelasan tersebut dapat tercapai hanya jika organisasi Ahmadiyah tetap ada, dan Pemerintah melalui pihak berwenang harus mengetahui dan terus mengawasi organisasi Ahmadiyah.
Berdasarkan informasi yang tercantum dalam KTP, maka dengan sendirinya ada konsekuensi dari seseorang yang bukan beragama Islam. Seorang non-muslim tidak berhak mendapatkan paspor haji dan Tanah Suci memang diharamkan diinjak oleh seorang non-muslim. Apabila seorang non-muslim meninggal dunia maka harus ditempatkan ditempat yang berbeda dengan orang-orang muslim. Hal-hal itu dari dahulu sudah dilakukan dan tidak melanggar HAM. Namun demikian, pencantuman informasi agama dalam KTP tidak boleh membuat kedudukan seseorang berbeda dalam hukum dan pemerintahan. Hak hidup bernegara dan keberadaan jemaah Ahmadiyah dijamin oleh pemerintah sebagai bagian dari masyarakat Indonesia yang bukan beragama Islam. Dengan begitu akan lebih jelas dan lebih adil baik bagi Ahmadiyah maupun Umat Islam.
Untuk masalah tata cara keagamaan agama Ahmadiyah, harus pula diatur dengan jelas dan tegas. Kitab suci Ahmadiyah adalah Tadzkirah. Tadzkirah tidak boleh beredar bebas di toko buku. Ahmadiyah tidak berhak menerjemahkan, menafsirkan, atau mengutak-atik kitab suci agama lain, terutama al-Qur’an. Ahmadiyah juga tidak berhak menggunakan lambang, tulisan, suara (azhan) yang mengasosiasikan atau membawa pikiran orang pada agama lain. Tempat ibadahnya juga harus diberi label berbeda dengan masjid. Ahmadiyah boleh melakukan kegiatan peribadatan dengan pembatasan-pembatasan supaya ajaran Ahmadiyah tidak menyinggung umat beragama lainnya. Apabila hal itu dapat dilakukan, maka Ahmadiyah dapat dikategorikan sebagai “kafir zimmi” yang masih memiliki potensi untuk berubah dan mendapat petunjuk-hidayah dari Allah SWT untuk kembali ke jalan yang benar. Rasulullah sendiri menjamin keamanan kafir zimmi. Rasulullah berdagang dengan mereka dan bergaul baik dengan mereka.
Sekian dari saya, sekedar sumbang saran dari rakyat jelata. Segala yang benar asalnya dari Allah dan yang salah adalah kelemahan saya sebagai manusia.
MEKAR WIJAYA
Daftar Pustaka
Khan, Amjad Mahmood, Persecution of the Ahmadiyya Community in Pakistan: An Analysis Under International Law and International Relations
kejawen-religion.blogspot.com/2010/08/kolom-agama-dalam-ktp.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar