Kamis, 28 November 2013

DOKTER BAGIAN DARI SISTEM

http://hutantropis.com/wp-content/uploads/2011/11/Mafia-Kesehatan1.jpg

Di tengah gencarnya pemberitaan dan desakan masyarakat untuk menuntaskan pemberantasan mafia hukum dan pajak, kasus-kasus pemberantasan mafia di lingkungan lembaga yang lain seakan termarginalkan.

Kemarin saya meminjam sebuah buku dari seorang teman judulnya MAFIA KESEHATAN yang ditulis oleh Alexandra Indriyanti.

Buku ini dengan lugas membeberkan kepada kita FAKTA gelap di dunia medis konvensional yang sering ditutup-tutupi oleh para “mafia kesehatan.” Saya percaya isi buku yang ditulis atas dasar realita hidup ini akan bisa menghindarkan masyarakat dari kasus-kasus malpraktek. Ketika membacanya, saya merasa seperti melihat adanya terorisme model baru yang menarik keuntungan dari pasien yang sedang berjuang mempertaruhkan nyawanya melawan penyakit.
Jaringan terorisme yang ternyata diatur dengan sangat rapi dan dikendalikan oleh orang-orang yang ahli dibidangnya melebihi para costra nostra atau para mafiaso Italiano. Mereka memiliki pertahanan yang sulit dilacak dan sulit ditembus bahkan oleh hukum sekalipun.

Bagaimana mungkin? Bukankah sesungguhnya kesehatan sangat menjunjung tinggi kemanusiaan, belas kasihan, dan keadilan? Rasanya sangat tidak mungkin ada jaringan mafia kesehatan. Namun faktanya ternyata jauh lebih daripada yang saya bayangkan.

Hubungan bebas antara dokter dan industri obat yang melakukan jual-beli obat telah banyak merugikan pasien. Pasien menjadi ajang permainan bisnis obat para dokter. Adanya “iming-iming” mencapai target penjualan dari industri obat, telah memicu rusaknya profesi dokter yang sepantasnya menjadi habitus moralitas. ( sumber : http://amriawan.blogspot.com)

Dampaknya nilai kemanusiaan dipertaruhkan guna kepentingan bisnis. Mengerikan lagi, dengan keahliannya, dokter dapat mengarahkan resep obat yang sarat dengan kepentingan bisnis pribadi, lebih-lebih tanpa menghiraukan kemampuan ekonomi pasien. Suatu realitas profesi yang tergadaikan.

Lebih memprihatinkan lagi, ketika mendapati dokter yang hanya berorientasi bisnis semata. Pemeriksaan berlangsung singkat dan berakhir hanya dengan penyelesaian memberikan selembar coretan resep obat tanpa memperhatikan hak-hak pasien untuk membuka kesempatan berkomunikasi dan memberi informasi penyakitnya lebih mendalam.

Lantas bagaimana institusi dan profesi di sekitar kesehatan ketika mental para profesionalnya telah tergadaikan? Tentunya institusi tercermin dari para pelaku profesinya. Buku ini hadir membongkar tentang mafia kesehatan, yang sarat dengan orientasi bisnis dan jauh dari jamahan hukum. Menguak jaringan yang rapi, tersembunyi serta dikendlikan oleh orang-orang profesional.

Alexandra Indriyanti, penulis yang intens berkutat di dunia kesehatan, menulis secara gamblang menguak tabir kejahatan di seputar kesehatan. Mulai dari membongkar politik strategi bisnis besar industri obat; Kelakuan para dokter hingga memunculkan sebutan Dokter Jurus Angin Puyuh, Dokter Ban Berjalan, dan Dokter Memukul Angin; serta rumah sakit yang kerap menolak pasien tidak mampu atau mempersulit birokrasi ketika pasien merasa dirugikan.

Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia Marius Widjajarta dalam acara pencerahan perlindungan konsumen di Hotel Pangrango Bogor, Senin (19/4/2010). Yang saya kutip dari detikfinance.com ,menyayangkan masih adanya praktek-praktek mafia di sektor kesehatan yang masih berkeliaran mulai dari sektor obat, kedokteran, dan rumah sakit. Tindakan-tindakan tersebut cenderung merugikan konsumen (masyarakat). “Kalau kita bicara mafia bidang kesehatan pembicaraannya dari pagi sampai malam,” Ungkap Marius.

Setelah membaca fakta-fakta dari apa yang diangkat dalam buku tersebut, saya jadi khawatir tentang peluang bagi pasien untuk keluar hidup-hidup dari rumah sakit? Jangan-jangan kita hanya akan disuguhi kata-kata ala sinetron melankolis Indonesia: “Maaf, kami sudah berusaha sekuat tenaga tetapi Tuhan menentukan lain”. Kalau begitu endingnya, saya baru mulai paham kenapa orang-orang berduit banyak yang lari ke luar negeri untuk berobat.

Jaringan kejahatan atau mafia telah merambah dunia kesehatan, sehingga orientasi pelayanan kesehatan yakni spiritual dan kemanusiaan dikesampingkan menjadi materialisme.

“Saat ini manusia hanya menjadi objek eksploitasi semata dari para kapitalisasi pelayanan kesehatan,” kata dosen bidang etika dan hukum kesehatan Sekolah tinggi Ilmu Kesehatan (Stikes) Achmad Yani, Alexandra Indriyanti Dewi di Yogyakarta, Sabtu [13/06] .

Menurut dia pada bedah buku Mafia Kesehatan, kapitalisasi pelayanan kesehatan tampak dari monopoli oleh sekelompok orang, sehingga tidak semua orang bisa dan boleh menyelenggarakan pelayanan kesehatan.

Akibatnya, penumpukan modal hanya ada di dalam tangan segelintir orang, dan tidak dibagikan kembali secara adil kepada semua orang. Padahal, kesehatan merupakan hajat hidup orang banyak.

Ia mengatakan, biasanya para mafia membentuk jaringan yang luas dan kuat yang dikomandoi oleh beberapa kelompok orang yang dapat mengambil keuntungan maksimal. Mafia tersebut bekerja menghalalkan segala cara, termasuk merugikan orang lain. Dalam pelayanan kesehatan, mafia dibagi menjadi lima bagian, yakni don atau god father, underboss (direksi rumah sakit), consigliere (instansi terkait rumah sakit), capo (eksekutif rumah sakit), dan soldato (dokter, perawat dan pengacara). Menurut dia, don atau god father adalah bos yang memerintahkan dan mengkoordinasikan setiap pekerjaan, biasanya mendapatkan keuntungan yang paling besar dalam bisnis.

“Dalam pelayanan kesehatan don atau god father adalah pemilik pabrik farmasi atau obat, pemegang saham rumah sakit, dan pemegang paten atau hak kekayaan intelektual (HAKI) teknologi kedokteran,” katanya. Ia mengatakan, permainan kapitalisasi yang dilakukan oleh pabrik farmasi adalah menjual obat yang tidak sesuai dengan harga pasar, biasanya diperjualbelikan oleh dokter yang masuk dalam perkumpulan tersebut. “Lebih parah lagi, ada hukum di dalam jaringan kejahatan itu yang wajib dilakukan oleh para pemain mafia kesehatan, yakni omerta (sumpah tutup mulut), komunio (hilangkan), dan adanya jabatan rahasia,” kata Alexandra yang juga penulis buku Mafia Kesehatan.

Menurut dia, kasus yang sering terjadi di Indonesia adalah omerta. Kasus obat palsu dan kesalahan operasi (mala praktik) hingga menyebabkan pasien meninggal merupakan salah satu contoh omerta. “Dokter biasanya tidak ingin bertanggung jawab mengenai kasus tersebut, mereka beralasan berpegang pada undang-undang kedokteran yang tidak bisa dipublikasikan pada masyarakat,” katanya.

Sementara itu, mantan Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Yogyakarta Adam Suryadi mengatakan, untuk menjadi seorang dokter harus lolos uji kompetensi. “Pada kasus yang ada di dalam buku mafia kesehatan, mungkin dokter tersebut tidak lulus ujian kompetensi dan lisensi,” katanya.

Aturan saat ini, menurut dia, ketika dokter sudah disumpah harus mengumpulkan 250 standar kelayakan profesi (SKP).

“Pengumpulan SKP berasal dari mengikuti seminar, menulis jurnal, dan melakukan penelitian yang terbaru. Itu syarat wajib menjadi dokter yang andal saat ini,” katanya.

(dari berbagai sumber)

http://hutantropis.com/mafia-kesehatan

 

 

Membedah Konspirasi Rumah Sakit, Dokter dan Perusahaan Farmasi Terhadap Pasien

Belakangan ini sejumlah kasus buruknya layanan kesehatan yang menimpa pasien, termasuk dari kalangan eksekutif, marak terungkap. Masalah komersialisasi layanan kesehatan yang kian menjadi-jadi dituding sebagai biang keladinya. sebut saja kasus Prita Mulyasari dengan Rumah Sakit Omni Internasional.

Teridentifikasi sejumlah fakta pendukung hal itu: penyedia layanan kesehatan menetapkan tarif sendiri, pasien kerap diperlakukan berlebihan, sebagian dokter memiliki saham di tempat ia bertugas, “kewajiban” pasien menggunakan alat kesehatan yang tak perlu, tidak adanya interaksi pasien dengan apoteker, penawaran obat-obat berharga tinggi kepada pasien, dan kolusi dokter dengan perusahaan farmasi.

Madjdi Ali, mantan direktur utama Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912, kesal bukan kepalang. Ia merasa anaknya, Reza, diperlakukan secara berlebihan oleh pelayan medik sebuah rumah sakit di Tangerang.

“Anda bisa bayangkan, setiap jam darahnya diambil dengan dalih untuk memantau perkembangan medis,” kata Madjdi.

Selama satu hari berada di rumah sakit tersebut, ia menghitung lebih dari 20 kali anaknya diambil sampel darahnya. Kekesalan Madjdi bertambah saat melihat anaknya yang terbaring lemas kerap mendapat kunjungan dari perawat yang berbeda dengan tujuan yang tidak jelas. Awalnya, demi kesembuhan anaknya, Madjdi membiarkan pihak rumah sakit melakukannya. Namun, karena sang anak terus mengeluh dan kondisi tubuhnya kian lemah, ia lalu memutuskan untuk memindahkan putranya ke rumah sakit lain.

Sejak awal Madjdi merasa tindakan rumah sakit itu dalam menangani putranya terlalu berlebihan. Ia menuduh pihak rumah sakit telah menjadikan putranya lebih sebagai objek komersial ketimbang sosial. “Jangan-jangan karena setiap pengambilan darah itu ada nominalnya, lantas mereka melakukannya sesering mungkin,” cetusnya.

Masalah komersialisasi memang masih menjadi isu utama potret layanan kesehatan di Indonesia. Kartono Mohamad, mantan ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI), bahkan menyebut layanan kesehatan di Indonesia lebih liberal dibandingkan dengan Amerika sekalipun. Ia mengungkapkan beberapa alasan mengapa Indonesia dalam layanan kesehatan dianggap lebih liberal dibanding negara lain. Pertama, pelayanan kesehatan di Indonesia sepenuhnya diserahkan kepada pasar dan berasaskan fee for service yang tidak diatur. Pengertian fee for service adalah tiap langkah layanan, mulai dari konsultasi hingga operasi, dikenai tarif tersendiri.

Dalam setiap layanan kesehatan di Indonesia, menurut Kartono, penyedia layanan yang terdiri dari dokter, klinik, atau rumah sakit menetapkan tarif sendiri.

“Pemerintah seharusnya menerapkan regulasi terkait dengan pemberlakuan tarif layanan kesehatan seperti di luar negeri,” ujar pria kelahiran Batang, 13 Juli 1939 itu.

Ia menyarankan agar pemerintah menggunakan mekanisme batas tarif atas dan tarif bawah sehingga para penyedia layanan kesehatan tidak menentukan tarif sesuai selera masing-masing. Langkah ini, tambahnya, perlu diberlakukan mengingat di Indonesia belum ada lembaga yang mengawasi apakah kualitas layanan yang diberikan kepada pasien linier dengan harga yang dibayarkan.

Apalagi, belakangan Kartono melihat buruknya layanan kesehatan juga dipicu oleh rendahnya mentalitas para penyedia layanan kesehatan.

“Mentalitas para penyedia layanan kesehatan kita lebih besar cari untungnya dibandingkan melayani,” ketus alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu.

Buruknya mentalitas pelayan kesehatan ini juga diduga menjadi pemicu dugaan kesalahan prosedur dalam penanganan pasien yang kerap kali bukan disebabkan masalah kompetensi, melainkan lebih ke moral. “Yang terjadi, pasien kerap diperlakukan berlebihan. Misalnya, ia sakit kulit biasa, ternyata malah diberi obat kanker kulit,” kata Mohamad Dani Pratomo, pengamat farmasi.

Dampaknya pun fatal. Oleh karena pasien ditangani secara berlebihan dan tidak sesuai prosedur, maka bisa dipastikan kondisi tubuhnya akan makin buruk. “Sangat berbahaya memberikan pengobatan yang tidak dibutuhkan oleh tubuh,” cetus Dani. Masalah jadi makin pelik karena sebagian dokter, selain praktek, ia juga memiliki saham di klinik atau rumah sakit tempat mereka bertugas. Maka bisa ditebak, orientasi sang dokter bukan sekadar melayani, tetapi juga bisnis. Mereka tidak hanya dituntut untuk bekerja dengan baik, tetapi juga harus mampu menghasilkan pendapatan lebih bagi tempat mereka berpraktek dengan cara apa pun.

Akibatnya, untuk mengejar pendapatan perusahaan, pasien dibebani biaya lebih tinggi dari yang seharusnya dibayarkan untuk pelayanan di rumah sakit itu. Salah satu modusnya, misalnya, berupa “kewajiban” pasien menggunakan alat tertentu, meskipun tidak diperlukan. Maklum, untuk investasi alat-alat seperti CT-scan dan angiografi, pihak rumah sakit harus merogoh US$1 juta, sedangkan alat Echo (periksa jantung) harganya US$600.000, dan MRI US$1,5 juta per unit. Untuk rumah sakit, investasi alat-alat kesehatan yang dikeluarkan per tahunnya berkisar Rp20 miliar, tergantung pada kebutuhan korporasi.

Masalah Obat

Modus lainnya ialah dengan menawarkan obat-obatan branded. Pasien yang seharusnya tidak perlu mengonsumsi obat-obat ethical dengan harga tinggi, oleh dokter justru diresepkan. Ini belum termasuk malpraktek yang kerap kali dilakukan dokter. Oleh karena minimnya sosialisasi dan edukasi, pasien sendiri sering berada dalam posisi yang lemah. “Dalam keadaan terpaksa, pasien sering harus ‘membeli’-nya tanpa mengetahui apa yang dibeli,” kata Dani.

Semua itu masih ditambah lagi dengan posisi apotek yang berfungsi layaknya supermarket. Pasien mengorder obat ke apotek, lalu mereka meraciknya dan kemudian dibayar.

“Idealnya para apoteker juga dapat menjelaskan obat-obat yang diresepkan dokter sesuai keluhan, sehingga pasien dapat memilih untuk mengambilnya atau tidak, namun sayangnya mekanisme ini tidak berjalan,” papar Dani.

Para apoteker yang seharusnya berada di garda terdepan apotek, selama ini justru berada di “belakang meja” dan bertugas meracik obat sesuai permintaan pasien. “Sistem yang ada selama ini berakibat pada ketiadaan interaksi antara pasien dan apoteker,” jelas pengasuh portal apotekkita.com itu.

Obat, menurut Dani, merupakan salah satu faktor penting penentu mahal atau murahnya layanan kesehatan. “Harga obat itu rata-rata bisa mencapai 50% dari total biaya kesehatan yang dikeluarkan. Maka, mengurangi dari sisi tersebut, saya rasa akan signifikan,” katanya. Celakanya, selama ini yang memiliki hak kuasa dalam menentukan obat apa saja yang diberikan hanyalah dokter. Dokter menulis resep dan meminta pasien menebus di apotek rumah sakit tersebut. Di sini, pasien tidak pernah dilibatkan dalam penentuannya. Jangankan diberitahukan indikasinya, obat yang akan diminum saja tidak diinformasikan. Inilah yang memicu dugaan kolusi antara dokter dan perusahaan farmasi.

Kolusi antara dokter dan perusahaan farmasi juga diakui Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari. “Berdasarkan pengalaman saya, memang ada kolusi antara dokter dan perusahaan farmasi,” kata Menkes. Ia menduga kolusi ini terjadi antara produsen obat impor dan dokter.

Salah satu cara yang bisa dicoba pasien ialah meminta resep obat generik kepada dokter atau apoteker. Cara ini, menurut Dani, akan sangat efektif mereduksi biaya obat, yakni hingga 60%. “Harga obat branded itu bisa berkali lipat dari yang generik,” ungkap Dani. Pasien, tambahnya, tidak perlu ragu mengenai kualitas obat generik. “Yang berbeda itu hanya kemasan, sedangkan isinya sama,” cetus Dani. Obat generik memiliki standar produksi yang sama dengan obat paten.

Namun, masalahnya bagi kebanyakan orang Indonesia, selain karena faktor pengetahuan, obat juga telah menjadi komoditas gaya hidup. Saat membeli obat, banyak orang yang lebih mempertimbangkan merek ketimbang kandungannya. Akibatnya, sang pasien akan terbebani biaya “merek” yang lebih besar dibandingkan dengan substansinya. Apalagi, dalam penetapan obat, seperti dijelaskan Kartono, yang terjadi bukan persaingan menurunkan harga, melainkan bersaing membuat harga tinggi tanpa konsumen dapat memilih.

Pemerintah sendiri menolak tudingan adanya liberalisasi layanan kesehatan di negeri ini. “Layanan kesehatan kita tidak neolib karena semua kita atur,” kata Siti Fadilah Supari. Selama ini ia mengklaim telah melakukan pengaturan terhadap rumah sakit milik negara untuk mengoptimalkan layanan, tetapi tetap dengan harga murah. Departemen Kesehatan sendiri berencana menerapkan INADRG atau Indonesian Diagnostic Related Group, yang akan mematok waktu perawatan dan biaya bagi semua pasien. Misalnya, pasien usus buntu akan jelas berapa lama ia dirawat dan berapa biaya yang dikeluarkan. Sayangnya, langkah ini baru akan dijalankan oleh sejumlah rumah sakit pemerintah. Padahal, langkah ini sudah dijalankan oleh sejumlah negara, termasuk Singapura dan Malaysia.

Menurut Adib A. Yahya, president Asia Hospital Federation (AHF), langkah pemerintah ini akan berdampak signifikan dan mampu mendorong efisiensi. Ia mencontohkan untuk kasus usus buntu, misalnya, ditentukan perawatan selama enam hari, tetapi ternyata pasien dirawat delapan hari, maka ia hanya membayar hanya untuk enam hari. Kelebihan waktu menjadi tanggungan pihak rumah sakit. Namun, jika sebelum batas waktu pasien sudah keluar, maka menjadi keuntungan bagi rumah sakit. Langkah ini memaksa pihak rumah sakit untuk bekerja seefisien mungkin.

Adapun mengenai pengaturan harga rumah sakit swasta, Menkes enggan mengaturnya. “Untuk rumah sakit swasta, biarkan mereka mengaturnya sendiri, pemerintah tidak perlu ikut-ikutan,” ujar Menkes. Padahal, hal inilah yang menurut Kartono merupakan wujud dari liberalisasi layanan kesehatan.

Pihak swasta sendiri memang tampaknya enggan diatur-atur dalam urusan harga layanan. “Langkah penetapan harga bersama sulit dilakukan karena masing-masing penyedia layanan punya perhitungan berbeda,” kata dr. Mus Aida, ketua Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI).

Perlakuan sebagai Industri

Selain masalah yang disebutkan di atas, perlakuan pemerintah terhadap layanan kesehatan sebagai industri juga menjadi pemicu mahalnya layanan kesehatan. “Di negara lain, pengaturan kesehatan mendapat prioritas. Contohnya, ada pajak bahan baku obat dan alat kesehatan yang rendah, bahkan ada yang dihapuskan, sedangkan Indonesia tidak,” kata Adib A. Yahya yang juga menjabat ketua Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi). Selain itu, tambah Adib, di luar negeri, rumah sakit juga mendapat keringanan pembayaran, seperti biaya listrik dan air, sehingga secara operasional bisa menjadi lebih murah. Hal seperti itu, menurut Adib, tidak diperoleh rumah sakit di negeri ini, meski tetap dibebani misi layanan sosial.

Hal itu dibenarkan Mus Aida. Menurut dia, pemerintah saat ini memperlakukan layanan kesehatan sebagai sebuah entitas bisnis semata, tanpa memperhitungkan misi sosial. Akibatnya, untuk dapat bertahan, penyedia layanan kesehatan harus menambahkan beban operasional perusahaan kepada pasien yang berakibat makin mahalnya layanan kesehatan di Indonesia.

Layanan kesehatan di Indonesia, imbuhnya, juga dikenai multiple taxes. Artinya, mulai dari bahan baku, pengadaan alat kesehatan, hingga biaya konsultasi, semuanya dikenai pajak. Dan, pada akhirnya, karena kondisi ini, tidak ada pilihan lain selain membebankan ke pasien sebagai pengguna. Beban layanan kesehatan makin bertambah dengan berbagai regulasi yang mengatur perusahaan, seperti limbah dan bangunan. “Untuk rumah sakit, misalnya, ada persyaratan khusus yang mengatur bangunan rumah sakit dan personel atau operasionalisasi rumah sakit,” kata Adib. Ia berkeyakinan apabila pajak-pajak yang selama ini membebani rumah sakit dihapuskan, maka harga layanan kesehatan akan jauh lebih murah dibandingkan saat ini.

Dokter Senior, Favorit, dan Junior

Masalah lain ialah dokter itu sendiri. Sudah menjadi rahasia umum jika dokter-dokter senior dan favorit itu memang “menetapkan” tarif pelayanan istimewa dibanding juniornya. Para dokter itu juga dinilai punya posisi tawar-menawar terhadap rumah sakit yang lebih tinggi dibanding lainnya. Perusahaan meyakini dokter tersebut dapat meningkatkan jumlah pasien yang berkunjung ke rumah sakit dan pada akhirnya mampu menambah pendapatan perusahaan.

Posisi tawar-menawar yang tinggi ini menjadikan sang dokter bak dewa, nyaris tidak tersentuh. Jika ada kesalahan, maka satu-satunya yang menjadi korban sekaligus pelaku adalah si pasien. Dalam berbagai kasus gugatan pidana malpraktek, misalnya, pasien nyaris selalu berada di pihak yang kalah. Istilah malpraktek sendiri, menurut Kartono, masih belum dipersepsikan secara tepat. “Apabila dokter salah melakukan diagnosis, maka itu secara hukum tidak ada masalah. Namun, apabila dokter terbukti sengaja salah diagnosis untuk kepentingan tertentu, maka hal itu bisa disebut malpraktek,” cetusnya.

Masalahnya, membuktikan sengaja atau tidak dalam kasus salah diagnosis, ibarat mencari sebuah jarum dalam timbunan jerami. Salah satu masalahnya ialah mandulnya lembaga pengawas profesi kedokteran akibat konflik kepentingan. “Tidak adanya larangan bagi anggota badan pengawas di IDI untuk berpraktek dan memiliki saham di rumah sakit menyebabkan terjadinya konflik kepentingan,” kata Kartono.

Akibatnya, saat diminta menjadi saksi ahli di pengadilan dalam sebuah perkara malpraktek, maka yang terjadi ialah kesaksian subjektif atas perilaku rekan sejawat mereka. Dan, hasilnya bisa ditebak: sebagian besar kasus malpraktek yang masuk ke ranah pidana dimenangkan oleh penyedia layanan kesehatan. Padahal, pada kasus pidana, pendapat ahli punya nilai yang sangat penting dalam putusan sidang.

Sementara itu, di Indonesia sendiri belum ada data yang memadai terkait berapa banyak pasien yang meninggal akibat kesalahan diagnosis. Namun, sebagai perbandingan, di Amerika setiap tahun diperkirakan 1,5 juta orang meninggal akibat salah diagnosis. Terkait dengan regulasi profesi, Indonesia seharusnya bisa mengikuti Singapura atau Malaysia yang membatasi kerja para dokter hanya sembilan jam sehari. Cara ini terbilang efektif guna mengurangi risiko kesalahan diagnosis akibat kelelahan fisik sang dokter.

Maklum, meski kini sudah dibatasi satu orang dokter hanya boleh berpraktek di tiga tempat, tetapi, kenyataannya, banyak dokter yang bekerja melebihi kewajaran. Meski begitu, dokter tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Keterbatasan SDM di lini kesehatan ini juga menjadi salah satu kendala yang hingga kini sulit dicari solusinya. Sebagai contoh, untuk masuk fakultas kedokteran di sebuah universitas negeri, orang tua harus merogoh kocek dalam-dalam, minimal Rp200‒350 juta. Di fakultas lain di universitas yang sama, mereka hanya merogoh kocek sekitar Rp15‒25 juta.

Dalam survei yang dilakukan Warta Ekonomi terungkap bahwa kalangan eksekutif perusahaan, sebagai bagian dari masyarakat luas, juga menilai layanan kesehatan di Indonesia termasuk mahal. Hasil survei terhadap 60 responden yang semuanya merupakan eksekutif puncak di perusahaan-perusahaan besar itu, mayoritas (53,3%) mengatakan biaya layanan kesehatan di rumah-rumah sakit di Indonesia memang terbilang mahal. Hanya 1,7% yang mengatakan biayanya murah. Jadi, bagaimana menurut Anda?

sumber: konsumencerdas.co.cc

http://hutantropis.com/membedah-konspirasi-rumah-sakit-dokter-dan-perusahaan-farmasi-terhadap-pasien

Tidak ada komentar:

Kunjungan

THE BEST WAY TO LEARN IS TO SHARE

THE BEST WAY TO LEARN IS TO SHARE
الاالزين امنواوعملواالصلحت وتواصوابالحق وتواصواباصبر